Di beranda muka, tampak Pak Toha sedang menyelesaikan lembaran-lembaran koran lokal. Kadang ia mengernyitkan kening hingga tampak jelas bila di wajahnya mulai digayuti oleh garis-garis usia menua. Meski demikian, Pak Toha masih berusaha menjajaki kemantapan berfikirnya dalam asahan media-media yang disenangi.
“Biadab,” seru Pak Toha dalam gumam.
Bu Rasmi yang duduk di samping Pak Toha seketika heran mendengar kata yang dilontarkan suaminya itu.
“Siapa yang biadab Pak?” Bu Rasmi penasaran.
“Bagaimana tidak biadab bila seorang kakek yang saatnya menghadapi mati, masih juga mengikuti jejak nafsu iblisnya memperkosa cucunya sendiri.”
Bu Rasmi menggeleng-geleng.
Sementara Marlena yang duduk tidak begitu jauh dari tempat duduk suami istri itu begitu tertarik oleh suasana itu. Ia larut dalam perdebatan batinnya yang sejak tadi dibawa dari sekolah. Tiba-tiba rencana baru muncul di benaknya. Ia segera curahkan kepenatan batinnya yang mulai membelenggu setelah panggilan Pak Jamil di sekolah. Dengan demikian, harapan Marlena dapat menemukan jalan terbaik bagi diri maupun terhadap kenyataan berikutnya.
“Lalu menurutmu bagaimana?” tanya Pak Toha kemudian.
“Itulah yah, justru aku minta pertimbangan ayah,” Marlena menyerahkan.
Sebelum Pak Toha memberikan alternatif, Fatimah muncul dari dalam lalu bergabung dalam suasana itu.
“Menurutmu bagaimana bu?” Pak Toha menawarkan pada Bu Rasmi.
“Yah, tergantung bagaimana baiknyalah. Kalau memang besar manfaatnya terhadap Marlena, aku kira tidak ada jeleknya,” kata Bu Rasmi.
“Aku kira juga demikian. Toh menimba pengalaman untuk meningkatkan prestasi, hal ini merupakan kesempatan untuk menguji kemampuanmu dalam berkarya,” kesan Pak Toha.
“Tapi?” Marlena ragu-ragu.
“Jangan khawatir mbèng, aku akan mendampingimu,” dukung Fatimah.
Mendengar dukungan Fatimah, perasaan Marlena jadi lega. Ia seakan dibawa ke alam baru, dan di sana Marlena mencoba untuk mengukir prestasi di hadapan para peminat seni seluruh Jawa Timur. Meski demikian, di balik hati kecilnya permasalahan ini belum dianggapnya selesai. Sebab, meski akhirnya Marlena telah menemukan sesuatu yang memiliki arti bagi karirnya, walau kepergiannya ke Surabaya bersama Pak Jamil akan menimbulkan kesan jelek di hadapan Taufik.
Untuk itu, setelah musyawarah itu dianggap selesai, kekhawatiran Marlena segera disampaikan kepada Fatimah.
“Kenapa kau harus memikirkan Taufik?” kilah Fatimah. “Masalah ini, itu kan sudah merupakan hakmu.”
“Tapi Kak.”
“Aku mengerti. Kau takut bila Taufik merasa dipojokkan olehmu, kan?”
Marlena mengangguk
“Nah, itulah kelemahanmu.”
Marlena tersudut.
“Kita sebagai wanita tidak harus tunduk dalam segala hal terhadap laki-laki. Apalagi statusmu dengan Taufik masih belum punya ikatan resmi atau katakanlah ikatan pasti. Dalam hal tertentu kita punya hak untuk meningkatkan karir selama tidak berakibat fatal terhadap hubungan asmara. Yah, seyogyanya kita bersikap dan berfikir realistis mengantisipasi keadaan sekitar kita,” papar Fatimah bersemangat.
Pikiran dan hati Marlena baru terbuka setelah mendengar paparan kakak angkatnya itu. Selama ini, ternyata diri Marlena dibelenggu oleh perasaan-perasaan yang dibawa oleh arus emosi keluguan yang tertanam sejak. Ia belum mengenal apa arti kemerdekaan yang sebenarnya. Persepsi kemerdekaan, menurut Marlena diartikan dalam suatu sikap hati-hati yang dianut oleh perasaan wanita pada umumnya. Bila hal demikian berlanjut, maka kemungkinan besar keterbelakangan dan kesenjangan wanita terhadap lingkungannya, akan membentuk jurang emansipasi menjadi dalam dan terjal.
Di balik hati yang lain, Marlena mengakui kelemahan dan keterbelakangannya, dalam menyimpulkan suatu sikap terhadap makna percintaan. Percintaan menurut Marlena, merupakan ikatan batin yang didasari oleh perasaan dan ketulusan hati dalam segala hal, meski pada akhirnya Marlena terjerembab dalam suasana luka dan tanda tanya. Justru tanda tanya itu pada detik ini pun masih belum terjawab, siapa sebenarnya Taufik? (*)











