Marlena heran dan bertanya-tanya dalam hati.
“Kau heran, bila guru matematika seperti saya ini, juga senang karya sastra?”
“Jadi Pak Jamil juga aktif membidangi sastra?”
“Begitulah, meski hanya coba-coba.”
“Lalu apa hubungannya dengan saya?”
Pak Jamil tidak segera menyahut. Lalu:
“Saya kurang ahli sebagai seorang pembaca puisi. Untuk itu, saya ingin agar kamu mau membacakan puisi-puisi saya,” kata Pak Jamil berharap.
“Kenapa harus saya?”
“Karena saya yakin, suaramu akan selaras dengan puisi-puisi saya.”
Marlena terdiam. Pikirannya mereka-reka setuju atau tidaknya tawaran Pak Jamil. Penawaran itu sebenarnya merupakan kesempatan yang baik bagi Marlena. Seandainya bukan Pak Jamil yang menawarinya, mungkin alternatif itu akan terjawab saat itu juga.
“Oh iya. Maksud saya kemarin datang ke rumahmu sebenarnya untuk ini,”
“Jadi Pak Jamil telah membicarakan pada ayah?”
“Oh tidak. Sebelum ada kesanggupan dari kamu.”
Marlena berfikir.
“Saya tidak bisa memutuskan sekarang. Saya pertimbangkan dan saya konsultasikan dulu dengan ayah,” tanggap Marlena.
“Itu lebih baik. Tapi saya minta berita secepatnya.”
Marlena mengiyakan.
Buntalan penawaran Pak Jamil bagaikan durian yang jatuh di pangkuannya. Buntalan yang mengisyaratkan kesepakatan hatinya untuk mengembangkan prestasi yang diraihnya selama ini. Namun kulit-kulit durian itu terasa meranggas dan menusuk-nusuk kulit Marlena, karena bila tawaran Pak Jamil itu dipenuhi akan menjadi luka-luka kecil dan mendarah. Dilema inilah yang menyudutkan sikapnya dalam posisi gamang.
Perbincangan hati Marlena belum juga tuntas ketika kembali ke dalam kelas. Di bangkunya, Narti masih nampak seakan menunggu hasil proses panggilan itu.
“Lho, kok masih di kelas?”. Marlena heran.
“Malas.”
Marlena duduk di dekatnya di bangku yang lain.
“Bagaimana?” suara Narti agak berat.
Marlena menoleh, heran.
“Pak Jamil menawari aku untuk baca puisi di Surabaya.” Suara Marlena tanpa kesan.
“Lalu,” wajah Narti masam.
Marlena makin heran.
“Yah, pikir-pikir dulu,” sahut Marlena. “Menurutmu bagaimana?” Marlena balik tanya.
Narti tidak segera menyahut.
“Tergantung kamu sendiri,” suara Narti kurang setuju.
“Yah, aku mengerti. Tapi aku minta pertimbanganmu?”
Narti berfikir.
“Taufik bagaimana?”, pancing Narti.
Marlena terdesak. Yah, Taufik bagaimana?” kata hatinya pula. Yah, anak itu, apa yang terjadi selama ini?
Marlena menggeleng.
Kini Narti yang terdesak.
“Tak tahulah Nar,” jawab Marlena ringan.
“Sepertinya selama ini aku seakan berjalan di simpang jalan. Sebetulnya aku ingin bergerak maju, namun langkah kaki ini selalu kelu,” keluh Marlena.
“Yah, aku pikir ajakan Pak Jamil harus kau pertimbangkan masak-masak sebelum berakibat fatal,” harap Narti.
Marlena mengangguk paham.
Kedua sahabat itu masih diliputi oleh keadaan hati masing-masing. Ada yang terjadi kejanggalan melihat sikap kedua wanita itu. Narti membiarkan begitu saja lautan rasa yang berkecamuk dalam hati Marlena, yang tampak jelas tergambar di raut wajah temannya itu. Sedang Narti sendiri, sejak mendengar dan tahu panggilan Pak Jamil kepada Marlena, mulai timbul sak wasangka yang pada gilirannya membentuk suatu gumpalan bara yang setiap saat dapat menyulut bagian-bagian hatinya.
Secara formal, Pak Jamil tidak pernah melontarkan ungkapan hatinya terhadap Narti. Meski demikian, ketika Narti diajak makan bersama di warung soto pinggiran kota, sikap Pak Jamil seakan menunjukkan hembusan angin segar yang menerpa tebing-tebing hati Narti. Dan Narti merasakan hal itu. Maka tak heran bila ajakan berikutnya, Narti tidak keberatan diajak Pak Jamil dalam suasana yang lain.
“Pacarmu sekarang siapa Nar?,” kata Pak Jamil ketika itu.
“Wah, siapa yang mau pacaran sama saya, Pak?”
“Lho, apa ada yang memandang kamu jelek,” tanya Pak Jamil, mengandung tuntutan seakan menyiratkan pujian terhadap muridnya.
“Yah, mungkin juga Pak.”
“Kok bisa begitu,” Pak Jamil menampakkan ekspresi heran.
“Kalau saya, justru menganggap kamu cukup pantas,” pujinya kemudian.
Mendengar pujian itu, Narti terdesak, hingga biji bakso yang belum dikunyahnya seakan mau meluncur dari katupan bibirnya. Dan akibatnya, wajah Narti nampak merah. Malu tapi bangga.
Saat itulah ungkapan kalimat Pak Jamil bagi Narti bagaikan seuntai jala yang menangkap gelinjang hati Sunarti. Meski pada dasarnya ungkapan-ungkapan itu tak lebih dari gurauan bulan di mata pungguk. Tapi bagi Narti, gurauan itu bagaikan benang-benang emas yang terangkai dari kedua bibir gurunya, lalu menjulur dan melilit-lilit tebing hati Narti. Dan saat itu pulalah, di hatinya telah dibai’at dalam kesaksian alam.
*****











