Keislaman, Kemaduraan, Keindonesiaan

Perkembangan kesenian dan masyarakat (kesenian) di Madura bersifat unik, yang secara mikro terlihat pada pengalaman masa kecil saya tadi, dan secara makro akan kita lihat dalam perkembangannya dewasa ini. Secara makro pula kita akan menelusuri aspek-aspek historisnya di masa silam, di mana polarisasi masyarakat (kesenian) dewasa ini merupakan dampak-lanjutan dari konfigurasi sosial keagamaan dan kolonialisme, dengan ulama lokal sebagai institusi sentrumnya. Sudah tentu dalam perjalanannya yang panjang telah terjadi pergeseran dan perubahan polarisasi masyarakat kesenian di Madura, yang —seperti akan kita lihat nanti— bersinggungan dengan proses islamisasi di Madura sendiri secara umum. Namun, paling tidak dalam jangka pendek dan menengah, polarisasi itu tampaknya bersifat permanen, karena islamisasi di Madura lebih berupaya menawarkan alternatif terhadap kebudayaan Madura, bukan mengisi dan memperkaya kebudayaan yang ada. Kecenderungan islamisasi seperti itu menyisakan sekat psiko-sosial masyarakat kesenian, apalagi Islam cenderung mensubordinasikan kesenian itu sendiri.

Islam dan Polarisasi Kesenian

Islamisasi di Madura berlangsung relatif “tuntas”. Sedemikian “tuntas” islamisasi itu, sehingga Islam menjadi identitas dan tradisi masyarakat Madura dalam hampir semua lapisannya, kecuali di kalangan kecil warga non-muslim. Ini tidak berarti Islam sebagai sistem nilai dijalankan secara murni dan konsekuen oleh masyarakat Madura. Bagaimanapun, proses islamisasi dan institusionalisasi Islam dalam masyarakat Madura sendiri, yakni gerakan atau usaha menuju nilai-nilai Islam yang sejati, masih terus berlangsung. Sudah tentu dalam proses tersebut terjadi tarik-menarik, saling rebut pengaruh, bahkan kerap terjadi ketegangan, baik terbuka maupun diam-diam. Namun hampir seluruh fenomena sosial-agama dan pola sosial-budaya di Madura berlangsung dalam ranah atau bazar kebudayaan masyarakat muslim.

Meskipun demikian, diversifikasi sosial-budaya dalam masyarakat Madura tetaplah kompleks, dan dalam batas tertentu berimplikasi pada corak kesenian dan pola sosial masyarakat Madura itu sendiri. Kompleksitas diversifikasi sosial masyarakat Madura antara lain menyangkut perbedaan orientasi budaya mereka, yang sebagian termanifestasi atau bahkan termaterialisasi dalam kesenian. Pada gilirannya, polarisasi masyarakat kesenian di Madura terbentuk atas dasar perbedaan orientasi budaya mereka. Satu kelompok berorientasi pada kebudayaan yang sejauh mungkin berhubungan dengan tradisi Islam; kelompok lain berorientasi pada tradisi Madura tanpa mempersoalkan kaitannya dengan tradisi Islam. Polarisasi ini merupakan dinamika dari masyarakat muslim Madura yang sesungguhnya relatif homogen, namun diversifikasi sosial mereka telah mendorong perbedaan orientasi budaya dan manifestasi konkretnya di lapangan kebudayaan. Dalam konteks ini maka Islam sebagai orientasi budaya kerapkali sangat longgar, meskipun seringkali sangat kuat sebagai identitas budaya.

Polarisasi masyarakat kesenian ini dapat dijelaskan lebih jauh lewat kelompok atau kelas sosial di Madura. Di antara kelompok atau kelas sosial yang sangat berpengaruh dalam masyarakat Madura adalah ulama lokal atau kiai. Untuk sebagian hal ini merupakan konsekuensi dari islamisasi Madura yang relatif “tuntas” tadi. Karena islamisasi berlangsung baik di hampir semua kelompok dan kelas sosial dengan ulama sebagai institusi sentrumnya, maka ulama memiliki posisi sentral dalam struktur sosial masyarakat Madura di hampir semua tingkatannya. Posisi mereka tampak kian kuat dan luas dari waktu ke waktu. Belakangan, konfigurasi politik nasional dan lokal memungkinkan mereka untuk mengintegrasikan diri ke dalam sistem nasional, dimana ulama menduduki posisi tertinggi dalam birokrasi negara tingkat lokal, suatu hal yang sulit terjadi sejak zaman kolonial hingga zaman Orde Baru.

Pada kenyataannya, ulama atau kiai merupakan lingkaran agama, sosial, ekonomi, politik, dan budaya, yang kebanyakan berbasis di pesantren. Lingkaran-lingkaran ulama ini seringkali melampaui batas-batas fisik pesantren yang dipimpinnya; seringkali pula bersentuhan dengan lingkaran agama, sosial, ekonomi, politik, dan budaya ulama lain dalam berbagai tingkatannya. Persentuhan antara lingkaran sosial seorang ulama dengan lingkaran sosial ulama lain secara kultural membangun lingkungan budaya tersendiri, yang ingin saya sebut dengan lingkungan budaya pesantren. Pesantren di sini tidak menunjuk pada lembaga pendidikan sebagaimana lazim dipahami, melainkan pada tradisi dan orientasi budaya yang secara umum bersifat keislaman. Dengan demikian, pesantren di sini lebih merupakan kategori sosial-budaya daripada lembaga pendidikan atau agama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.