Tradisi Sastra Lisan dalam Kehidupan Sehari-hari
Sastra lisan merupakan jantung komunikasi dan transmisi nilai budaya Madura, terintegrasi erat dalam keseharian masyarakat:
- Pantun: Berpantun adalah kebiasaan sehari-hari yang masih sangat hidup, terutama di daerah pedesaan. Contohnya adalah Mak Saniyah (63) dari Desa Seddur, Pamekasan, yang masih aktif berpantun di sela-sela aktivitasnya sebagai petani tembakau dan jagung. Budaya tutur dan narasi yang kuat ini diturunkan dari generasi ke generasi.
- Peribahasa (Bhangsalan/Kata Kias): Penggunaan peribahasa dalam komunikasi sehari-hari masih banyak dijumpai dan dianggap sebagai cara yang lebih sopan serta menghormati lawan bicara. Mudhar (44), seorang guru di Pamekasan, sering menggunakan bhangsalan seperti “Ngèrèng èyatorè, ta’ langkong pasaèyaghi sanaos nyè’-konyè’ ghunong, samo-nemmona” (Silakan, selamat menikmati meski hanya seadanya) untuk mempersilakan tamu makan.
- Dungngeng (Dongeng): Merupakan cerita rakyat yang mengandung pesan-pesan moral dan harapan. Dungngeng sering didendangkan dalam pengajian, perkumpulan-perkumpulan, bahkan di lingkungan keluarga. Beberapa dungngeng Madura yang terkenal meliputi kisah kepahlawanan Pangeran Trunojoyo, Potre Koneng, asal mula karapan sapi, Sakera, Ke’ Lesap, dan Angling Darma Ambya Madura.
- Syi’ir (Syair/Chants): Bentuk sastra ini tersusun dari 4 baris (padda/biri), dengan tiap baris terdiri dari 10 ketukan (keccap), dan memiliki pola rima A-A-A-A. Isi syi’ir sangat beragam, mencakup kisah nabi, cerita siksa kubur, tema pendidikan, agama, dan akhlak. Syi’ir sering dilantunkan di pesantren, majlis ta’lim, dan acara walimatul urs (pernikahan).
- Lok-Alok: Jenis sastra lisan yang secara khusus ditemukan dalam konteks pacuan sapi atau karapan sapi, menunjukkan integrasinya dengan tradisi lokal.
- Puisi mainan anak-anak: Berupa kumpulan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara bebas, dengan unsur bunyi yang dominan, dan mendorong lompatan-lompatan imajinasi pada anak-anak.
- Puisi ritual: Digunakan sebagai sarana tolak bala atau penolak bala, biasanya ditemukan di desa-desa terpencil atau di daerah tepi pantai, menunjukkan fungsi spiritual sastra.
- Saloka: Kata-kata bijak yang penuh makna, sering dituturkan dalam berbagai acara atau ditemukan dalam tulisan-tulisan sastra Madura. Contohnya: “Namen cabbhi molong cabbhi: jhubâ’na oréng gumantong dâri lakona dhibi’” (Menanam cabai memanen cabai: keburukan seseorang bergantung pada perbuatannya sendiri).
- Tembhang: Bentuk sastra yang menunjukkan pengaruh kesusasteraan Jawa yang kental pada awal abad ke-20. Tembhang biasanya berisi tentang kisah atau hikayat zaman dahulu. Di Madura, Tembhang dikenal juga dengan istilah Macapat, yang merupakan salah satu dari tiga jenis tembhang (selain Tembhang Tengnga’an dan Tembhang Raja). Macapat sendiri memiliki 9 hingga 11 macam jenis.
Berbagai sumber secara konsisten menunjukkan bahwa sastra lisan, seperti pantun dan peribahasa, bukan sekadar bentuk seni, melainkan bagian integral dari komunikasi sehari-hari masyarakat Madura. Penggunaannya dalam konteks sosial (perkumpulan, keluarga, karapan sapi) dan spiritual (pengajian, ritual) menunjukkan fungsi sastra sebagai “oase kemanusiaan” dan sarana transmisi nilai, etika, dan kearifan lokal secara turun-temurun. Ini mengindikasikan bahwa sastra lisan adalah jantung budaya Madura yang terus berdenyut dan menjadi fondasi yang kuat bagi identitas masyarakatnya.
Perkembangan Sastra Tulis dan Media Lokal
Kekuatan sastra lisan di Madura secara signifikan mendorong tumbuhnya sastra tulis. Sastra tulis sudah mulai ditemukan oleh budayawan Syaf Anton sekitar tahun 1910-1930, dengan ditemukannya 35 judul tulisan atau buku terbitan Balai Pustaka yang berbahasa Indonesia maupun Madura.
Produksi puisi dan cerpen juga berkembang dengan baik di Madura, meskipun pada awalnya mungkin terbatas pada kalangan tertentu. Pada masa lalu, majalah dan koran lokal seperti Tjolok, Sumenep Expres, dan Nanggala juga aktif menerbitkan karya sastra, memberikan wadah bagi para penulis lokal. Hubungan kausal antara sastra lisan dan tulis menunjukkan evolusi sastra Madura.
Kehadiran Balai Pustaka sebagai institusi penerbitan dan media lokal menandai proses formalisasi dan dokumentasi sastra. Ini memungkinkan penyebaran karya sastra yang lebih luas dan terstruktur, meskipun pada awalnya mungkin terbatas pada kalangan tertentu. Proses ini merupakan langkah penting dalam menjaga keberlanjutan sastra di tengah perubahan zaman dan memperkaya khazanah intelektual Madura.
Peran Pondok Pesantren sebagai Pusat Sastra
Pondok pesantren memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan sastra di Madura. Pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga tempat di mana santri belajar berbagai aspek kehidupan, termasuk sastra. Masyarakat Madura secara tradisional dikenal memondokkan anak-anak mereka ke pesantren dengan harapan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Di lingkungan pesantren, santri secara aktif melantunkan syi’ir (tradisi lisan berupa puji-pujian religi) dan juga belajar sastra populer seperti membuat cerpen dan puisi. Pondok Pesantren Darussalam Bilapora di Sumenep, yang dikelola oleh sastrawan Raedu Basha, adalah salah satu contoh di mana santri diajak untuk belajar berpuisi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Kedekatan santri dengan dunia sastra sangat dipengaruhi oleh izin dan dukungan dari kiai, yang memiliki kedudukan tertinggi di pesantren.
Pesantren menjadi panutan dalam mempertahankan kearifan lokal Madura, khususnya dalam aktualisasi pemakaian bahasa dan sastra Madura dalam kegiatan pembelajaran formal dan nonformal. Pondok pesantren berfungsi sebagai benteng budaya yang vital, menjaga tradisi lisan seperti
syi’ir dan mendorong produksi sastra tulis modern. Pengaruh kiai sebagai figur otoritas tertinggi memastikan keberlanjutan tradisi sastra ini. Hal ini menunjukkan bahwa pelestarian sastra Madura terintegrasi erat dengan sistem nilai dan sosial-keagamaan masyarakat, menjadikan pesantren sebagai inkubator alami bagi sastrawan dan pelestari budaya.
Tokoh Sastrawan Madura di Pulau Madura
Spektrum masyarakat penulis di Madura sangat luas, mencakup individu dari berbagai latar belakang, mulai dari masyarakat biasa hingga kalangan pendidikan dan penyastra. Dahulu, sastrawan di Madura memiliki status sosial yang setara dengan kiai; mereka dianggap sebagai guru dan sangat dihormati. Masyarakat menunjukkan antusiasme yang tinggi saat menunggu pembacaan puisi, sebanding dengan antusiasme saat menonton pentas musik.
Beberapa tokoh sastrawan penting yang berkontribusi pada kehidupan sastra di Pulau Madura antara lain:
- Mak Saniyah (63): Seorang petani tembakau dan jagung dari Desa Seddur, Pamekasan, yang dikenal karena kemampuannya berpantun dalam kesehariannya.
- Halili: Seorang dosen Sastra Inggris di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap sastra Madura dan aktif mengamati kebiasaan berpantun di desa-desa.
- Mudhar (44): Seorang guru di Pamekasan yang sesekali masih menggunakan peribahasa Madura (bhangsalan) dalam komunikasi sehari-hari, menunjukkan bagaimana sastra lisan tetap relevan.
- Raedu Basha (Badrus Shaleh, 36): Sastrawan Madura yang muncul dari latar belakang pondok pesantren. Ia kini mengelola Pondok Pesantren Darussalam Bilapora, Sumenep, dan aktif mengajar santri untuk membaca serta memproduksi karya sastra. Raedu dianugerahi Anugerah Sutasoma oleh Balai Bahasa Jawa Timur pada tahun 2020 untuk kategori kritik sastra terbaik.
- Syaf Anton (68): Seorang budayawan Madura yang menekankan bahwa kekuatan sastra di Madura awalnya berasal dari sastra lisan.
- Iqbal Nurul Azhar: Dosen sastra UTM yang menulis tentang sastra Madura dengan judul Membicarakan Sastra Madura: Dari Potensi, Realita, dan Harapan.
- Dan banyak lagi nama-nama lainnya
Keberadaan sastrawan dari berbagai latar belakang—mulai dari petani, guru, akademisi, hingga pengelola pesantren—menunjukkan bahwa sastra Madura adalah fenomena yang meresap di seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya domain elit intelektual. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra Madura adalah milik bersama dan dihidupi oleh berbagai segmen masyarakat, mencerminkan kekayaan dan kedalaman budaya yang bersifat inklusif, serta menunjukkan bahwa peran sastrawan tidak terbatas pada satu profesi atau latar belakang tertentu.