Memahami Sastra Madura
Sastra Madura merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang merefleksikan kedalaman pemikiran dan kearifan lokal masyarakatnya. Secara fundamental, sastra Madura didefinisikan sebagai “bahasa indah, berbobot yang ditulis dalam bahasa Madura”. Definisi ini mencakup evolusi bentuk dan karya sastra dari masa lampau hingga era modern. Lebih dari sekadar rangkaian kata, sastra Madura juga dipahami sebagai “ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.
Karya-karya sastra Madura kaya akan “pesan, kesan, kritik dan ajaran-ajaran”. Pada masa lampau, baik sastra lisan maupun tulisan Madura sangat diminati oleh berbagai lapisan masyarakat, dari rakyat jelata hingga bangsawan. Minat yang tinggi ini disebabkan oleh fungsi sastra sebagai medium utama bagi masyarakat Madura untuk mengekspresikan diri, menyampaikan pesan moral, meluapkan gejolak hati, serta menyebarkan ajaran agama.
Sastra Madura, dengan demikian, tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana transmisi nilai, moral, dan pandangan hidup. Keterlibatan seluruh lapisan masyarakat di masa lalu menegaskan peran sentral sastra dalam membentuk dan merefleksikan identitas kolektif Madura. Oleh karena itu, sastra Madura dapat dipahami sebagai artefak budaya yang hidup, yang secara aktif membentuk dan mencerminkan nilai-nilai masyarakatnya.
Karakteristik dan Pesan Moral dalam Sastra Madura
Karakteristik sastra Madura sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan sosial-budaya pulau tersebut. Kondisi geografis Madura yang panas dan dikelilingi oleh ombak lautan yang “garang” memberikan pengaruh kuat terhadap bentuk-bentuk sastra dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Mayoritas karya sastra Madura “dipenuhi dengan motivasi, pesan ajaran yang ketat”. Hal ini mencerminkan ketangguhan dan semangat hidup masyarakat Madura dalam menghadapi kondisi lingkungan yang keras.
Meskipun orang Madura dikenal memiliki karakter yang kuat dan gigih dalam menghadapi tantangan hidup, mereka juga memiliki sisi lembut yang terungkap melalui sastra mereka. Kepercayaan yang mendalam kepada tokoh agama atau kiai, serta nilai-nilai yang diajarkan di pondok pesantren, turut membentuk karakter sastra ini. Sastra menjadi media penting untuk mengekspresikan dimensi humanis dan religius masyarakat. Pengaruh lingkungan fisik yang keras dan nilai-nilai religius yang kuat, yang diinternalisasi melalui peran kiai dan pesantren, secara langsung membentuk isi dan tujuan sastra Madura. Ini menjadikan sastra Madura bukan sekadar produk budaya, melainkan juga sebuah alat adaptasi dan pemeliharaan nilai dalam menghadapi tantangan hidup, serta media untuk mengekspresikan spiritualitas yang mendalam.
Jejak Sejarah dan Periodisasi Sastra Madura
Sejarah sastra Madura memiliki akar yang sangat dalam, terutama dalam tradisi lisan.
Asal Mula dan Sastra Lisan Awal
Sastra lisan di Madura jauh lebih tua dibandingkan sastra tulis. Bentuk-bentuk sastra ini dituturkan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya, bahkan sebelum masyarakat Madura mengenal baca-tulis. Sastra lisan ini umumnya berisi nasihat atau petuah hidup yang membimbing masyarakat.
Meskipun demikian, tidak ada catatan otentik yang secara pasti menyebutkan kapan sastra Madura mulai berkembang. Bukti tertulis paling awal yang ditemukan di Kebon Agung, sebelah barat Sumenep, hanya menunjukkan bahwa tradisi tulis-menulis sudah dikenal pada zaman Kerajaan Singasari, dengan inskripsi yang bertanggal 1280 M (tahun Saka 1212) dan 1438 M (tahun Saka 1360).
Fakta bahwa tidak ada catatan otentik mengenai awal mula sastra Madura, terutama sastra lisan yang lebih tua, mengindikasikan bahwa tradisi ini sangat organik dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ini menunjukkan bahwa sastra merupakan bagian inheren dari komunikasi dan transmisi pengetahuan budaya secara informal, mendahului formalisasi melalui tulisan.
Keberadaan inskripsi kuno hanya menunjukkan adanya tradisi tulis, bukan titik awal sastra secara keseluruhan, yang semakin memperkuat pandangan bahwa sastra lisan adalah fondasi yang lebih tua dan lebih meresap dalam budaya Madura.
Periodisasi Sastra Madura
Sastra Madura telah mengalami tahapan perkembangan yang dapat digambarkan dalam tiga periode utama :
- Periode Sastra Madura Lama (hingga 1920): Pada periode ini, fokus banyak terletak pada penelitian dan penulisan oleh pihak asing mengenai sastra Madura lama dan pelajaran bahasa Madura. Salah satu contoh karya yang muncul pada masa ini adalah buku Een Madoereesch Minnedicht oleh ahli linguistik A.A Fokker.
- Periode Sastra Madura Baru (1920-1945): Era ini menandai munculnya pengarang-pengarang Madura sendiri yang mulai dikenal luas. Salah satu tokoh penting adalah M. Wirjo Wijoto dengan karyanya Maesak Apa Marosak yang terbit pada tahun 1927. Selain itu, media lokal seperti majalah atau koran Tjolok, Sumenep Expres, dan Nanggala juga mulai aktif menerbitkan karya sastra.
- Periode Sastra Madura Modern (1945-Sekarang): Periode ini ditandai dengan produksi puisi dan cerpen yang terus berkembang, meskipun penyebarannya mungkin masih terbatas pada kalangan tertentu. Menariknya, tradisi lisan seperti
ngidung (melantunkan kidung) masih tetap terjaga hingga era 1970-1980-an, menunjukkan kesinambungan yang kuat antara tradisi sastra lama dan modern.
Periodisasi ini secara jelas menunjukkan transisi dari dominasi lisan, melalui fase di mana sastra Madura menjadi objek studi asing pada Periode Lama, menuju kemandirian dengan munculnya pengarang lokal dan media sendiri pada Periode Baru, yang juga dipengaruhi oleh peran Balai Pustaka. Periode Modern menunjukkan adaptasi sastra Madura terhadap zaman kontemporer. Perkembangan ini mencerminkan bagaimana sastra Madura tidak statis, tetapi berevolusi seiring dengan perubahan sosial, politik, dan intelektual, dari masa kolonial hingga kemerdekaan, menunjukkan vitalitas dan kemampuan adaptasinya yang luar biasa.
Kehidupan Sastra di Pulau Madura
Kehidupan sastra di Pulau Madura sangat kaya dan berkembang di berbagai lapisan masyarakat, dari pelosok desa hingga pondok pesantren. Sastra di Madura sering dianggap sebagai “oase kemanusiaan di tengah panasnya kehidupan,” yang berfungsi sebagai sumber nilai-nilai kebaikan. Hal ini menunjukkan peran sastra sebagai penyeimbang dalam kehidupan yang keras.