Glundhângan dan Merpati dalam Praktik  Sosial-Budaya

Tangkapan layar Tradisi pelepasan ribuan burung merpati (dhârâ ghettakan), youtube: Lintas Cara

Selain dipercaya memberikan berkah dan perlindungan gaib, merpati juga dimaknai sebagai simbol derajat dan kewibawaan. Ada ungkapan lama yang kerap kali diucapkan oleh beberapa informan yang saya temui perihal merpati, yakni “ngobu dhârâ mon ontong bisa maongghâ dhârajhât, mon apes bisa dhârâka” (memelihara merpati jika beruntung bisa menaikkan derajat, tetapi jika tidak beruntung bisa durhaka) (Budi, Komunikasi Pribadi, 22 Januari 2019). Ungkapan tersebut memberikan penjelasan bahwa memelihara merpati sebe- tulnya adalah perkara yang berisiko. Jika kita sukses memeliharanya, derajat tinggi yang akan didapatkan. Namun, sebaliknya, jika kita gagal dalam merawat dan memelihara, akan ada konsekuensi buruk (durhaka) yang kita terima.

Ihwal hubungan burung merpati dengan derajat seseorang dapat dibaca melalui falsafah yang dipercayai oleh sebagian besar masyarakat di Jawa (termasuk Madura). Dalam tradisi masa lalu, tinggi atau rendahnya derajat seseorang diukur dari kesuksesan hidup yang telah dicapai. Tolok ukurnya melalui pencapaian delapan pemilikan aspek keduniawian berupa 1) karya/pekerjaan, 2) garwa/ istri, 3) wisma/rumah, 4) curiga/ keris dan pusaka, 5) turangga/ tunggangan, 6) kukila/burung peliharaan, 7) waranggana/pesinden,

8) pradangga/gamelan (Santosa, 2017, 15). Dalam falsafah tersebut, merpati merupakan simbol pengejawantahan dari nilai kukila. Keis- timewaan burung merpati bagi masyarakat Madura sama halnya seperti keistimewaan burung perkutut bagi masyarakat Jawa yang selalu dihubungkan dengan kekuatan spiritual. Meski pada konteks sekarang banyak masyarakat Madura yang memelihara burung love bird, hal ini hanya sebatas hiburan, bisnis, dan kesenangan semata. Berbeda dengan memelihara merpati yang memiliki nilai spiritual.



Sebagian besar empu merpati ghettakan di kalangan masyarakat Madura adalah seorang laki-laki. Mereka memperlakukan merpati sebagaimana memperlakukan keluarganya sendiri. Ada perlakuan- perlakuan khusus perihal membeli dan merawat merpati ghettakan. Beberapa perlakuan empu terhadap merpatinya dinarasikan dalam beberapa catatan etnografi berikut.

Pada sore hari tanggal 22 Januari 2019, Mas Budi mengajak saya ke rumah Pak Salam untuk membeli sepasang merpati. Ada banyak kriteria yang ditentukan oleh Mas Budi dalam memilih merpati, seperti jenis dan warna bulunya, fisik merpatinya, dan yang paling penting adalah seberapa pèlak (setia) merpati yang dibeli terhadap pemilik lamanya. Merpati yang terlihat pèlak akan dihindari untuk dibeli karena ketika dibeli, sudah dipastikan tidak akan betah untuk tinggal di rumah barunya dan kebanyakan akan kembali pulang ke empu lamanya. Mas Budi menentukan tingkat kesetiaan merpati melalui feeling (perasaan- nya). Merpati yang tidur dengan soko nongghâl (kaki satu) dipastikan memiliki tingkat kesetiaan yang tinggi pada tuan lamanya. Selain itu, biasanya merpati yang setia kepada tuan lamanya tidak akan mau memakan makanan yang dibacakan doa pengasihan. Menurut Mas Budi, memelihara merpati ghettakan sebaiknya dimulai sejak anakan (pejji) sebab lebih mudah untuk dilatih kesetiaannya. Selain itu, merpati yang dirawat sejak kecil cenderung lebih setia daripada memelihara di usia dewasa (Catatan Etnografi, 22 Januari 2019).

Sebelum membeli merpati, empu akan memilih merpati yang tidak hanya sehat dan bagus fisiknya, tetapi juga mental dan batinnya. Seorang empu dan merpatinya umumnya terikat pada ikatan pertalian batin. Merpati yang telah menjalin pertalian batin yang kuat dengan empunya akan sulit dipisahkan walaupun merpati tersebut telah berpindah tangan (dijual) pada empu yang baru. Dalam beberapa contoh kasus, banyak burung merpati yang baru dibeli kemudian lepas dan kabur untuk kembali ke rumah empu lamanya. Maka dari itu, pemilihan merpati juga ditentukan dari tingkat kesetiaan merpatinya pada tuan lamanya.

Mendirikan rumah baru bagi merpati (pajhudhun) juga sama seperti mendirikan rumah baru bagi manusia. Ada proses dan tahapan, seperti mencari hari baik, mempertimbangkan posisi dan arah pajhudhun-nya, dan mencari syarat-syarat ritual yang wajib disandingkan di dalam pendirian pajhudhun, seperti salèmpet (jenis akar-akaran yang dipercaya sebagai jimat pengasihan), bâto ghilis (gilingan jagung yang dipercaya menguatkan pajhudhun), sobbhul (pusaka), keris, dan pusaka lainnya. Proses tersebut dilakukan supaya di kemudian hari tidak terjadi hal-hal yang buruk pada burung mer- pati dan pajhudhun-nya, serta sebagai perlindungan diri dari kekuatan gaib (ajâgâ abâ’).

Merpati yang baru saja dibeli tidak dipelihara begitu saja di dalam kandang, tetapi ada perlakuan khusus yang dilakukan oleh si empu. Berikut beberapa perlakuan khusus yang dilakukan oleh Mas Budi pada beberapa merpati yang baru dibelinya.

Merpati yang baru dibeli oleh Mas Budi ditempatkan di pajhudhun dengan kondisi bulu yang diikat sebagian (ghudhi). Selama seminggu, merpati dikurung di dalam pajhudhun. Selepas itu, ikat dilepas (è anyarè) sembari dibacakan mantra (doa). Ketika dilepas, bulu ketiak merpati dicabut lalu ditanam/diletakkan di dalam pajhudhun-nya, tujuannya supaya merpati tersebut betah tinggal di rumah barunya. Proses ini kebanyakan juga disertai dengan ritual selamatan. Proses berikutnya adalah pendekatan si empu dengan merpati. Pada tahap ini Mas Budi berupaya untuk dekat dengan merpatinya dengan cara rutin memberi makan dan minum, mengajak berbicara, serta memberikan jhâpah/ sellekkan (mantra dan doa pengasihan). Mantra dan doa yang dibacakan adalah mantra pengasihan (mahabbah/ilmu pelet) yang biasanya dipakai oleh manusia kepada manusia (Catatan Etnografi, Januari 2019).

Ihwal yang paling penting dalam memelihara merpati adalah menjalin pertalian batin dengan merpatinya. Ukuran keberhasilan dalam memelihara merpati ghettakan adalah seberapa setia burung merpati tersebut kepada si empunya. Guna mencuri perhatian dari sang merpati, sebagian besar empunya akan menggunakan mantra dan doa pengasihan. Mantra dan doa yang biasa digunakan adalah mantra ajian dhâddhâli potè, poter giling, dan surah Yusuf (Catatan Etnografi, 30 Januari 2019). Pada konteks sehari-hari, doa dan mantra ini biasa digunakan untuk mengguna-guna orang (semacam ilmu pelet), tujuannya agar target yang dibacakan mantra akan berbalik mencintai si pembaca mantra (ilmu pengasihan digunakan umumnya karena alasan penolakan dan penghinaan dari target kepada si pem- baca mantra). Beberapa informan mengatakan bahwa mantra dan doa pengasihan yang ditujukan kepada burung merpati memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi daripada untuk digunakan pada manusia. Dengan demikian, empu merpati yang mampu menaklukkan burung merpatinya atau merpati milik orang lain akan dianggap memiliki ilmu pengasihan yang tinggi oleh masyarakat.

Setiap empu merpati saling berhubungan dengan sesama empu merpati lainnya. Sebagaimana burung merpati ghettakan hidup berkoloni, empu merpati juga hidup berkoloni dan membentuk grup- grup (paguyuban). Umumnya, dalam setiap desa di Jember terdapat satu atau lebih paguyuban merpati ghettakan. Setiap paguyuban merpati diketuai oleh seorang ketua yang dipilih sesuai kesepakat- an bersama. Kebanyakan ketua paguyuban dipilih berdasarkan kewibawaan personal, kepemilikan ilmu yang tinggi, serta secara pengalaman telah mumpuni dalam memenangkan pertandingan dhârâ ghettakan. Setiap ketua bertanggung jawab atas anggotanya ketika melakukan pertandingan antarpaguyuban.

Setiap paguyuban mengadakan pertemuan rutin dalam bentuk arisan setiap minggu, sebagaimana kelompok arisan paguyuban merpati putih yang diketuai oleh Bapak No di daerah Keranjingan- Kebonsari, Jember.

“Saya ini dipasrahi jadi ketua mulai 2003 sampai sekarang. Dahulu, banyak yang ikut, tetapi sekarang sudah banyak yang berhenti. Kalau sekarang satu anggota biasanya ikut lima arisan, paling banyak total 30-an orang. Dapat arisannya satu juta tujuh ratus ribu rupiah, kalau dahulu bisa sampai 15 juta. Anggota yang ikut diwajibkan membawa burung paling sedikit enam ekor. Arisan ini harus ada, kata teman- teman biar tidak bosan. Selain tempat silaturahmi, juga ada bonusnya.” (Bapak No, Komunikasi Pribadi, 30 Desember 2018).

Dalam acara arisan, setiap empu merpati yang tergabung dalam satu paguyuban diwajibkan minimal membawa tiga pasang merpati (enam ekor merpati). Merpati tersebut kemudian akan dilepas secara bersama-sama usai undian arisan. Empu yang beruntung mendapat undian arisan akan dijadikan tuan rumah pada arisan berikutnya. Acara arisan tidak lepas dari musik glundhângan. Sembari menunggu puncak acara, beberapa empu yang hadir akan menyumbang lagu dan secara bergantian ikut memainkan musik tersebut. Suara arisan dan musik glundhângan disiarkan ke seluruh desa menggunakan pengeras suara yang dipasang setinggi 3–5 meter setara dengan tinggi pajhudhun merpati.

_________________

Tulisan bersambung

1. Glundhângan dan Merpati dalam Praktik Sosial-Budaya
2. Musik Glundhângan sebagai Medium Komunikasi
3. Cara Komunikasi melalui Musik Glundhângan dengan Merpati dan Masyarakat Sekitar

Writer: Panakajaya HidayatullahEditor: Lontar Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.