Glundhângan dan Merpati dalam Praktik  Sosial-Budaya

Tangkapan layar Tradisi pelepasan ribuan burung merpati (dhârâ ghettakan), youtube: Lintas Cara

Glundhângan merupakan ensambel musik gamelan kayu yang dimain- kan oleh masyarakat Madura, terutama di wilayah Jember, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, dan Sumenep. Glundhângan diperkirakan sudah ada sebelum era gamelan logam (metalofon). Instrumennya terdiri dari glundhâng, dhung-dhung, tong-tong, tèk-tèk, nèng-nèng, dan ghâghâmbhâng. Saat memainkan glundhângan biasanya diiringi alunan vokal tembhâng mamaca (versi kuno) dan kèjhungan (versi modern).

Ensambel musik glundhângan erat kaitannya dengan tradisi sese- orang yang memelihara merpati dalam jumlah banyak (dhârâ ghetta- kan) yang ditempatkan di dalam rumah merpati (pajhudhun). Tradisi memelihara dhârâ ghettakan selalu berhubungan dengan aktivitas nyata, totta’an dhârâ, dan arèsan paguyuban. Nyata adalah peristiwa di mana seorang empu berhasil mendapatkan burung merpati milik lawannya. Totta’an dhârâ adalah pertandingan pelepasan burung mer- pati secara bersama-sama agar burung-burung merpati yang dilepas bisa kembali pulang ke pajhudhun si empunya. Sedangkan arèsan (arisan) paguyuban ialah pertemuan rutin anggota yang dilakukan secara anjangsana dari rumah anggota ke anggota lainnya setiap pekan sekali. Dalam kegiatan arisan, setelah mengundi pemenang arisan, biasanya diakhiri dengan pelepasan merpati secara bersama-sama.

Setiap pemilik pajhudhun dan dhârâ ghettakan pasti memiliki instrumen musik dhung-dhung atau tong-tong yang berbentuk ken- tongan (beragam variasi) berbahan kayu. Instrumen tong-tong oleh masyarakat Madura sering dikaitkan dengan kepemilikan merpati. Instrumen ini oleh para empu merpati dianggap efektif dalam mem- bangun komunikasi dengan merpati. Secara tradisi, instrumen ini su- dah sejak lama digunakan oleh masyarakat Madura sebagai pemanggil merpati. Hingga saat ini, sebenarnya belum ada penelitian yang dapat menjelaskan mengapa instrumen tong-tong dianggap ideal untuk merpati. Apakah karena frekuensi bunyinya? Setiap empu merpati yang saya wawancara mengatakan bahwa yang ideal untuk merpati adalah instrumen tersebut. Dalam momen tertentu, instrumen tong- tong tersebut dimainkan secara ensambel dengan beberapa instrumen kayu yang lain. Ensambel ini dikenal dengan nama glundhângan.



Brandts Buyz-Van Zijp (1928, 50–55; dalam Bouvier, 2002, 54) menulis tentang sebuah alat musik sejenis xilofon “primitif ” di Madura dengan sebutan ghâloendhâng. Terma glundhângan berasal dari kata glundhâng yang merujuk pada sebuah instrumen kayu kuno berbilah, bentuknya mirip dengan instrumen gambang di Jawa, tetapi memiliki jumlah bilah nada yang lebih sedikit. Bouvier menjelaskan bahwa musik glundhângan di Madura memiliki kesamaan dengan musik okol yang juga terdiri dari seperangkat gamelan kayu.

Jika dilihat dari komposisi musik yang dimainkan, Bouvier meng- asumsikan bahwa musik gamelan kayu tersebut merupakan warisan dari kebudayaan kuno (arkais) masyarakat Madura yang saat ini mencoba untuk menjadi lebih modern dengan kecenderungannya memainkan komposisi-komposisi gamelan metalofon dan gending- gending baru (Bouvier, 2002, 52). Sedikit berbeda dengan Bouvier, Setiawan (2018) berpendapat bahwa musik glundhângan merupakan sebuah imajinasi masyarakat akar rumput tentang gamelan keraton, mengingat secara komposisi karya-karya musik glundhângan saat ini kian mendekati musik gamelan metalofon.

Instrumen musik tersebut digunakan oleh si empu merpati seba- gai media komunikasi kepada merpati dan masyarakat sekitarnya. Ihwal hubungannya dengan merpati, tong-tong dibunyikan ketika si empu memanggil burungnya yang hilang atau terbang terlalu jauh, atau sebagai ritual di malam hari yang dimaksudkan untuk meninggi- kan terbang burung merpatinya. Sedangkan ihwal hubungannya dengan masyarakat sekitar, tong-tong dibunyikan sebagai penanda kemenangan (glorifikasi) atau memberi informasi kepada masyarakat sekitar bahwa si empu telah berhasil mendapatkan merpati milik lawannya.

Guna menelaah hubungan antara musik glundhângan dan tradisi dhârâ ghettakan dalam konteks 1) komunikasi antara si empu merpati, musik glundhângan, dan merpatinya; dan 2) komunikasi antara si empu merpati, musik glundhângan, dan masyarakat sekitar, digunakan pandangan Clifford Geertz mengenai tafsir kebudayaan. Geertz memandang kebudayaan merupakan jaringan makna-makna. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang tampak, tetapi berada di balik sesuatu yang tampak. Geertz menawarkan beberapa cara memandang suatu kebudayaan ke dalam beberapa konsep (1992, 5). Pertama, “budaya perlu diinterpretasi”, kedua, “budaya sebagai teks”, dan ketiga, “budaya sebagai metafora”. Selain itu, budaya juga bersifat kontekstual dan mengandung makna-makna publik.

Telaah berikutnya, digunakan pandangan Pierre Bourdieu tentang hubungan praktik sosial dengan budaya. Menurut Bourdieu, terdapat dua faktor yang mendasari praktik budaya, yaitu modal pendidikan (formal atau informal) dan asal sosial (Bourdieu, 1984, 13). Pendidik- an berasal dari pengajaran budaya keluarga. Oleh karena itu, praktik sosiokultural adalah pembacaan tentang penguasaan praktik, minat agen, batasan situasional, sarana yang tersedia, keunikan pribadi, dan sejarah hubungan individu dalam bidang sosial tertentu.

Merpati dalam Tradisi Masyarakat Madura

Dalam tradisi masyarakat Madura, memelihara hewan bukan semata hanya untuk diternak saja, tetapi sering kali ada maksud-maksud lain yang melatarbelakanginya. Seperti halnya sebagian besar masyarakat Madura dikenal sebagai pemiara sapi (Jonge, 2011, 88). Memelihara sapi, khususnya sapi jantan, memiliki makna serupa dengan me- melihara kerbau bagi orang Jawa atau ayam bagi orang Bali, yang maknanya melambangkan kekuatan dan kemakmuran. Laiknya pada sapi, masyarakat Madura juga memiliki tradisi yang unik perihal kedekatannya dengan burung merpati, khususnya dhârâ ghettakan.

Di Pulau Madura, khususnya di daerah Rubaru, Sumenep, tradisi memelihara dhârâ gettakan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang telah berlangsung sejak lama. Ihsan, seorang empu dhârâ ghettakan, menceritakan pengalamannya.

“Kulâ ngobu dhârâ nèka pon toronan, èpatoron dâri ju’ juju’ lambâ’, rassana molae jhâman keraton lah bâdâ ghânika. Mon bâdâ dhârâna nèka ta’ patè èpernaè jin. Dhârâ nèka ta’ kenning dhuwâi, polana soko nongghâl, Jhâ’ sènga’ èsaradhi nèka ta’ kèra maso’ ten. Rèng ngobu dhârâ nèka atirakat, atangngi sabbhân malem, noro’ dhârâna. Soko nongghâl nèko artèna saktè, kadhâng mon orèng sè kellar, engghi noro’ atirakat soko nongghâl. Mon ngenning dhârâ nèka pas èdul-gudul, mosona sè kala nèka pastè anga’ sèla dhârâ èkenning pas èguduli. Mon é ka’ento lambâ’ mon bâdâ ngenning, arisan otabâ ampongan (totta’an) mestè èparammi, bâdâ tabbhuwânna (glundhângan), ghenna’ bâdâ tong-tong, dhung-dhung, ghung, saronen, can macanan, bi’ tandâ’ bini’.” (Ihsan, Komunikasi Pribadi, 31 Desember 2018).

“Saya memelihara burung merpati ini karena warisan leluhur, ditu- runkan oleh leluhur saya dulu, sejak zaman keraton sepertinya sudah ada tradisi ini. Jika di sebuah rumah ada merpati, maka tidak akan diganggu oleh jin. Burung merpati ini tidak mudah dipengaruhi oleh doa dan kekuatan gaib karena ketika tidur, ia berdiri satu kaki. Jika sengaja dipengaruhi oleh kekuatan jahat, tidak akan bisa masuk. Orang yang memelihara merpati ini bertirakat, tidak tidur tiap malam, meng- ikuti kebiasaan merpatinya. Berdiri dengan satu kaki itu menandakan kesaktian. Terkadang, jika orang tersebut kuat, ia akan ikut bertirakat dengan berdiri menggunakan satu kaki. Saat mendapatkan merpati milik lawan (musuh), si empu pasti membunyikan kentongan/dul-gudul (petanda kemenangan). Musuhnya yang kalah (kehilangan merpati) pasti emosi dan merasa dipermalukan karena selain kehilangan merpati, ia merasa diejek dan dipermalukan dengan permainan musik. Di sini, dahulu kalau ada yang menang (mendapatkan burung lawan), arisan atau acara totta’an pasti diramaikan, ada musik gamelannya (glundhâng- an), lengkap dengan tong-tong, dhung-dhung, ghung (gong), saronen, can-macanan, dan sinden perempuan.”

Dari pernyataan Ihsan dapat diketahui bahwa tradisi memelihara dhârâ ghettakan sudah berlangsung lama di Sumenep. Ia juga men- jelaskan bahwa merpati merupakan hewan istimewa yang mampu memberi keistimewaan pada empunya.

Tradisi dhârâ ghettakan tidak hanya berkembang di pulau Madura saja, tetapi juga di beberapa daerah di Pulau Jawa, khususnya di beberapa wilayah migrasi masyarakat Madura di bagian timur Pulau Jawa, yaitu di Situbondo, Jember, Bondowoso, dan Lumajang. Masyarakat Madura yang bermigrasi ke bagian timur Pulau Jawa juga turut membawa budaya asalnya ke daerah barunya. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan juga terjadi proses asimilasi dan dialektika dengan budaya lain yang telah ada lebih dahulu di daerah tersebut seperti Jawa, Tionghoa, Arab, dan Osing.



Di daerah migrasi, tradisi dhârâ ghettakan beserta perangkat keseniannya berkembang dengan berbagai dinamika budaya yang beragam dan berbeda dari Madura pulau. Corak kebudayaan pada tiap daerah migrasi cukup beragam. Di wilayah Situbondo yang sebagian besar masyarakatnya merupakan migran dari Madura Sumenep (Husson, 1997; Hidayatullah, 2017a), tradisi dhârâ ghettakan (di Situbondo disebut dhârâ abbrâghân) menyerupai di Sumenep, hanya saja bentuk kesenian glundhângan sudah tidak ada dan digantikan dengan kesenian saronen (Fauzi, Komunikasi Pribadi, 5 Januari 2019). Begitu juga di daerah Lumajang yang sebagian besar masyarakat Madura di sana adalah migran dari Pamekasan dan Sampang (Husson, 1997). Kesenian yang digunakan dalam tradisi dhârâ ghettakan adalah kesenian yang bersifat asimilatif, seperti musik jaranan, reog, atau patrolan. Di daerah pedalaman Bondowoso, kesenian tong-tongan pada saat nyata masih ada dan terawat, tetapi bentuk ensambel glundhângan-nya sudah jarang dan sulit ditemui.

Berbeda dari beberapa daerah migrasi yang telah disebutkan, di Jember, tradisi dhârâ ghettakan beserta musik glundhângan masih tetap ada dan hidup berdampingan dengan masyarakat yang multikultur. Berdasarkan sejarahnya, Jember merupakan daerah tujuan migrasi masyarakat Madura dari Pamekasan dan Sampang (Husson, 1997; Prasisko, 2015, 12). Migrasi masyarakat Madura ke Jember sebagian besar didasari dan dimotivasi oleh pembukaan lahan perkebunan dan didirikannya beberapa perusahaan tembakau di masa kolonial (Arifin, 2006).

Di Jember, kesenian glundhângan masih dapat ditemui di beberapa daerah, seperti di wilayah dataran tinggi Sokma Èlang, Panduman, dan Soca Pangepok, serta wilayah pinggiran perkotaan seperti Kebonsari dan Antirogo. Eksistensi kesenian glundhângan di Jember dapat bertahan diduga karena masih tersedianya bahan- bahan pembuatannya dari berbagai jenis kayu. Beberapa pemusik glundhângan rata-rata membuat alat musiknya sendiri dengan kayu yang didapatkan dari pohon yang ditanamnya sendiri (Kernet & Iral, Komunikasi Pribadi, 27 Desember 2018). Selain itu, di Jember juga terdapat banyak perajin alat musik kayu yang dapat membuat instrumen glundhângan sesuai pesanan. Sebagaimana hubungan antara tradisi dhârâ ghettakan dan musik glundhângan yang erat, eksistensi musik tersebut dapat terus hidup karena ramainya tradisi memelihara dhârâ ghettakan. Di Jember, dapat dilihat jelas betapa banyaknya masyarakat yang memelihara burung merpati yang ditandai dengan banyaknya jumlah pajhudhun (rumah dhârâ ghettakan).

Pernyataan yang lain juga diceritakan oleh Fauzi. Ia adalah se- orang empu dan ketua paguyuban merpati di Desa Pokaan, Situbondo. Berikut kisah pengalamannya selama memelihara dhârâ ghettakan.

“Kaulâ ngobu dhârâ pon toronan dâri rèng seppo … Dhârâ nèka laèn bân kèbân sè laèn, bâramma gih, monggingnga ca’na orèngnga, bisa ècacaè. Kè Kholil pernah ngundang kaulâ tello kalè pon ngundang dhârâ. Kè Kholil ngobu pas bânynya’ para’ saratos jhudhu. È bâkto makani dhârâ ghânika pas toju’ è jhângka’ kèni’ pas mukka’ kètab bâb dhârâ. Pas ngoca’ ka santrèna ‘Arèya bâ’na mallè tao, dhârâ arèya ta’ padâ ban dhârâ ando’an, mon malem pas apapagger kol du bellâs dâ’ budi ghârowa adhuwâ’âghi rèng –orèng bi’ tatangghâ, terutama ka sè ngobu.” (Fauzi, Komunikasi Pribadi, 5 Januari 2019)

“Saya memelihara merpati karena warisan dari leluhur … Merpati ini lain dengan hewan lain. Bagaimana ya, sebetulnya merpati itu seperti manusia, bisa diajak berbicara. Kiai Kholil pernah mengundang saya tiga kali, mengundang paguyuban merpati. Kiai Kholil memelihara banyak merpati sekitar seratus pasang. Waktu memberi makan merpatinya, Kiai Kholil duduk di kursi kecil sembari membuka kitab tentang bab merpati. Lalu berceramah pada santrinya, ‘Supaya kalian tahu, burung merpati ini berbeda dengan burung merpati balap (ando’an). Ketika berbunyi di malam hari di atas jam dua belas, itu artinya dia (merpati) mendoakan orang-orang sekitar dan para tetangga, terutama mendoakan yang memeliharanya.”

Bagi Fauzi, memelihara merpati dipercaya memberikan berkah. Ia percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Kiai Kholil (berdasarkan pembacaan kitab) adalah benar adanya, seperti yang ia rasakan. K.H. R. Kholil-As’ad merupakan kiai yang tersohor dan memiliki pengaruh yang kuat di Situbondo. Beliau adalah anak dari K.H. R. As’ad-Syamsul Arifin. K.H. R. Kholil-As’ad merupakan pengasuh pondok pesantren Wali Sanga di Mimbaan, Panji, Situbondo. Di kalangan masyarakat,

K.H. R. Kholil-As’ad dikenal sebagai kiai yang kontroversial karena kerap kali mengizinkan penyelenggaraan sabung ayam di lingkungan pesantren serta memiliki rombongan tabbhhuwân (sejenis ketoprak). Selama memelihara merpati, ia selalu merasa senang dan bahagia. Baginya, merpati adalah keluarganya, maka perlakuan yang baik kepada merpati akan membuahkan hasil yang baik pula (Fauzi, Komunikasi Pribadi, 5 Januari 2019).

_________________

Tulisan bersambung

1. Glundhângan dan Merpati dalam Praktik Sosial-Budaya
2. Musik Glundhângan sebagai Medium Komunikasi
3. Cara Komunikasi melalui Musik Glundhângan dengan Merpati dan Masyarakat Sekitar

Writer: Panakajaya HidayatullahEditor: Lontar Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.