Ketika Budi Darma diwawancarai Sony Karsono dalam Jurnal Prosa, tentang karya-karya sastrawan muda Indonesia, ia menyatakan karya-karya mereka ibarat wanita benar-benar sangat cantik, namun ketika didekati dan diajak bicara, nampaklah kebodohan atau ketidakcerdasan.
Ada pula seorang Sosiawan Leak ketika mengomentari dunia perpuisian di tanah air, yang sama dengan komentar Ribut Wijoto, seorang kritikus muda Surabaya, di mana karya-karya puisi yang banyak tersebar di media massa (tentu saja tidak semua) apabila nama-nama penyairnya dihapus dan disuruh seorang pengamat sastra untuk menebak puisi-puisinya siapa saja yang sedang dimuat itu, maka ia tak akan dapat menebaknya karena karya-karya mereka menampakkan keseragaman, alias berkarakter lemah, yang menunjuk jati diri penyairnya. Bahkan banyak yang terus menerus dihantui sejarah sastra dengan nuansa-nuansa Sapardi Djoko Darmono dan Afrizal Malna, muncul dalan lanskap-lanskap karya mereka.
Rupanya karya sastra atau puisi tidak cukup berdasarkan ketrampilan berbahasa saja. Hal ini sudah lama diutarakan Subagio Sastrowardoyo ketika mengomentari antologi puisi Abdul Hadi WM, ketika awal kepenyairannya, Laut Belum Pasang, yang secara umum puisi-puisinya berbentuk sketsa atau berhaiku dengan ketrampilan berbahasa yang sudah tidak diragukan lagi.
Namun Sugagio menyatakan kalau ingin jadi penyair sungguhan karya semacam itu tidak cukup, kurang lebih ia mengatakan bahwa penyair harus memiliki sebuah obsesi yang jelas dan kuat. Dari kritik itu maka lahirlah karya-karya Abdul Hadi WM yang cukup terkenal seperti Madura dan Ombak Itulah.
Subagio sebelum meninggal juga pernah mengutarakan dalam Festival Seni Surabaya, bahwa kepenyairan haruslah mendapatkan Wahyu Cakraningrat, yang mana wahyu itu adalah tradisi, ia mengatakan bahwa sebagai penyair hasruslah belajar banyak terhadap tradisi. Bahkan WS Rendra pun mengakui bahwa puisi-puisinya hanyalah meneruskan tradisi, mempertimbangkan tradisi. Dan tradisi ini bisa banyak macamnya, ada sastra lisan, pantun dan macapat misalnya, juga kebudayaan, pesantren, pesisir, argaris dan alam pikir masyarakatnya. Akan lebih jelasnya baca Bakat Alam dan Intelektualisme, karya Subagio Sastrowardoyo.
Bila kita cermati karya-karya penyair muda Madura, secara umum memang tidak secara harafiah menguar identitas lokal, namun dari langgam atau rima, irama dan kelancaran berbahasanya, maka nampaklah bahwa aura sastra lisan nampak kuat, seperti juga yang dilakukan para pendahulunya.
Hal ini berbeda dengan puisi-puisi lima penyair Jawa Timur dalam Cakrawala Sastra Indonesia, yang “didakwa” sebagai puisi gelap oleh Abdul Hadi WM, di mana apokalipsa yang mereka gaungkan belum dapat memberikan kearifan, sehingga ia merasa tidak mampu menyelami puisi-puisi mereka, bahkan ketika membicarakan puisinya W Haryanto, ia tidak mau masuk, takut tersesat karena benar-benar gelap menurutnya.
Di sinilah letak potensi besar yang dikandung para penyair muda Madura, dengan kekuatan sastra lisannya yang sudah bermetamorfosa dalam bentuk yang lebih modern, untuk dapat berkembang dikemudian hari.
Namun demikian ada baiknya penyair-penyair muda ini agar dapat berkembang lebih dinamis, selalu bermawas diri, selalu bersikap terbuka, tidak anti kritik, menghargai pendapat orang lain, karena perbedaan merupakan roda demokrasi dan roh kebudayaan.
* Penulis alumnus Sosiologi FISIP Unair, seorang penyair tinggal di Sumenep