Dari penyair-penyair muda ini yang kualitasnya cukup terjaga adalah M Faizi, M Fauzi, Moh Hamzah Arza dan Ali Ibu Anwar.
Melihat geliat penyair-penyair muda Madura ini secara kewilayahan ternyata belum merata ke segenap daerah di Madura, masih didominasi penyair dari Sumenep, hanya ada satu penyair dari Bangkalan yakni Timur Budi Raja, sedang Pamekasan dan Sampang tidak ada penyairnya, tentu saja penyair yang karyanya dapat dipertanggungjawabkan.
Penyair muda Madura ini bila ditilik dari latar belakangnya, khususnya di Sumenep, tumbuh dan berkembang dari pondok-pondok pesantren, di antaranya yang banyak menyumbangkan para penyair adalah Ponpes Al-Amin Prenduan dan Annuqayah Guluk Guluk. Sehingga secara umum karya-karya mereka bernafaskan atau beraura pesantren, kalau tidak mau dibilang sastra pesantren, tentu saja dengan cita rasa yang lebih baru.
Memang rata-rata dari mereka pernah nyantri, kemudian ada yang meneruskan kuliah di kota. Karya-karya mereka juga menampakkan diri sentuhan-sentuhan dari pergulatan mereka dengan dunia diktat atau intelektual sehingga menampakkan diri dalam puisi-puisi yang berwacana intelektual yang bernas dipadukan dengan personalitas.
Kenapa sastra lahir di pesantren? Inilah salah satu pertanyaan yang dapat dijelaskan, karena antara agama, filsafat dan sastra, selalu bergandeng tangan, namun menempuh jalan yang berbeda-beda menuju satu muara yakni memanusiakan manusia atau moral.
Di mana dunia pesantren, tentu saja menekuni dan selalu mengkaji agama secara lebih mendalam, di sana juga selalu dilantunkan ayat-ayat suci. Seolah mereka sedang membaca puisi kehidupan dan sambil mempelajari maknanya. Disinilah wawasan mereka terasah dan menampilkan dirinya dalam sosok puisi-puisi mereka. Ada juga pengaruh dari tradisi di desa, di mana di wilayah-wilayah pedesaan Madura masih banyak kegiatan-kegiatan macapatan dalam setiap ritual masyarakatnya, sehingga tanpa disadari kognisi mereka menyerap sastra lisan baik dari rima, irama dan lagunya, disinilah kekayaan batin mereka bertambah. Sehingga muncul pula dalam karya-karya dalam kelancaran berbahasa, bernuansa pedesaan atau mengenang masa kecil.
Pada tahun 1997, KSI menerbitkan dua jilid buku puisi, Antologi Puisi Indonesia, yang juga didominasi penyair muda. Yang kemudian dikomentari oleh kritikus sastra Budi Darma di Kompas dalam sebuah artikelnya, dia menyatakan bahwa banyak puisi-puisi yang bagus-bagus dalam antologi itu, namun karena semua bagus, maka susah untuk mencari yang terbagus (istimewa), atau kalau mau dibilang susah mencari penyair yang terbagus dan memiliki karakter kuat.