Benarkah Orang Madura Itu Keras?
Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dapat dilihat ketika mereka merespons hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang Madura tidak menyukai akan sesuatu hal, maka ketidak-sukaan itu dikemukakan secara spontan tanpa didahului (dikemas, apalagi direkayasa) dengan pernyataan basa-basi. Begitu pun sebaliknya, jika orang Madura merasa suka atau senang terhadap sesuatu hal, tanpa basa-basi pula mereka akan menyampaikan perasaan kesukaannya itu secara spontan dan penuh ekspresifitas.
Namun harus diakui, bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura yang pada dasarnya sangat tegas kemudian terimplementasikan dalam perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif ini kadangkala muncul dalam takaran yang agak berlebihan sehingga makna ketegasan yang terkandung di dalamnya kemudian bergerser menjadi ”kekerasan”. Namun, pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang membentuknya. Kondisi sosial budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya sehingga membuatnya merasa tada’ ajhina (pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya).
Perangai, sikap dan perilaku ”keras” yang kadangkala muncul secara tanpa disadari atau disengaja sebelumnya oleh karena adanya kondisi-kondisi yang membentuknya, secara kultural memang diakui adanya. Namun, secara kultural pula perangai, sikap dan perilaku tersebut harus tetap disaring dalam koridor etika moral yang benar sehingga kemudian harus memancarkan pesona kewibawaan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan mon kerras, pa akerrès. Makna ungkapan ini, walau bagaimanapun ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura hendaknya harus mampu diimplementasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan keseharian dengan memancarkan pesona kewibawaan.
Dibawah layak dibaca