Prosesi Pementasan
Seperti hal-nya kesenian tradisional, pentas Sintung sering dilaksanakan pada acara perkawinan, khitanan serta peringatan hari-hari besar Islam. Pelaksanaan pementasan terkadang pada pagi, siang ataupun malam hari, tergantung kepada si pengundang.
Adapun lagu-lagu (syair) yang dinyanyikan dalam setiap pementasan ada 23 macam/lirik lagu. Dalam satu lirik lagu terdapat satu gerakan tari. Setelah lagu dan gerak tari pertama dimainkan, disusul lagu dan gerak tari kedua, ketiga, begitu seterusnya, sampai ke- 23 lagu dan gerak tari tersebut selesai dinyanyikan. Di setiap pergantian lirik dan gerak tari, terdapat jeda dan pembaca shalawat ataupun barzanji meneriakkan kalimat “Ya Assyikin Nabi”, kemudian para penari menjawab dengan suatu gerak, tangan disilangkan di depan dada seraya mengangukkan kepala. Hal itu dimaksudkan suatu bentuk penghormatan kepada junjungan Rasullullah, sekaligus penghormatan kepada para penonton.
Sedangkan gerak ragam (prosesi) yang dimainkan dalam setiap penampilan, sebagai berikut :
Para penabuh dan penembang memasuki panggung, dilanjutkan dengan pembacaan Shalawat. Setelah itu para penari memasuki panggung dengan posisi berbaris, kemudian memberikan salam kepada penonton. Selanjutnya “Hedi” si penembang mengalunkan syair yang disertai gerakan tari oleh para penari. Dalam posisi berdiri penari memperagakan kelincahan serta kecepatan tangan, keharmonisan gerakan kaki sehingga membentuk komposisi yang sangat indah.
Setelah itu para penari membentuk komposisi setengah lingkaran, menghadap penonton dalam keadaan duduk. Gerakan-gerakan yang ditampilkan dalam posisi ini adalah kelincahan dan kegesitan tangan serta anggota tubuh. Tangan bertepuk di atas kepala, anggota tubuh meliuk-liuk, bersamaan, serempak, bergantian, susul-menyusul dalam rangkaian bergelombang. Gerakan dalam posisi duduk merupakan perpaduan gerak tari hadrah dan Sintung
Gerakan-gerakan yang banyak dimainkan dalam Sintung di dominasi dalam posisi duduk kemudian berubah ke posisi berdiri. Hal itu dilakukan terus menerus sampai ke 23 syair tersebut selesai dilantumkan. Dalam setiap rangkaian gerak tarian, adalah penggambaran dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta serta hubungan sesama manusia sebagai makhluk Tuhan.
Ada pun gerakan saat berdiri, banyak didominasi gerakan melompat-lompat, lincah dan dinamis. Para penari menyelaraskan gerakan dengan setiap syair yang ditembangkan. Lebih-lebih gerakan terakhir yang merupakan inti dari Sintung. Setiap penari menggenggam sepasang tong-tong (tempurung buah siwalan), yang diketukkan bersama-sama, dirangkai dengan gerakan tangan ke atas, kebawah dan kesamping. Gerak para penari demikian cepat, lincah dan dinamis disertai ketukan yang sangat kuat pada tong-tong. Gerakan terakhir ini menggambarkan penyatuan hati dan jiwa kepada Sang Pencipta.
Generasi yang tetap eksis melestarikan kesenian Sintung pada saat ini adalah generasi ke-delapan. Kesenian Sintung masih sering tampil dalam event-event tertentu, misalnya pernah tampil di Balai Pemuda Surabaya dalam rangka memperingati malam Lailatul Qadar, dalam tajuk “Malam Seribu Bulan”. Bahkan kesenian ini pernah manggung di festival Istiqlal Jakarta.
Untuk melestarikan kesenian ini, re-generasi dilakukan dengan cara memasukkan dalam kegiatan non akademik pada Sekolah Dasar di daerah tersebut. Disamping itu, setiap setengah bulan kelompok Sintung mengadakan pertemuan yang dilaksanakan secara bergiliran sesuai undian di rumah masing-masing anggota. Untuk lebih mempererat ikatan dalam pertemuan tersebut, media arisan digunakan sebagai tali pengikat sesama pengurus maupun anggota. Dalam pertemuan tersebut latihan rutin terus dilakukan.
mohon bait-2 sholawatnya dibetulkan. terlebih dahulu dikonfirmasikan kepada sang “Hedi” atau yang ahli.
Terima kasih koreksinya. Lirik Sintung ini kami terima langsung dari pelakunya. Materi Sintung semua hasil konfirmasi dan wawancara dengan Ketua Perkumpulan Sintung Desa Tambak Agung Kecamatan Ambunten Sumenep, Mudhar, serta sesepuh Sintung, K. Safi’i dan Misnawi dihadapan seluruh pelaku Sintung.
Sebagai catatan: lirik-lirik atau syair yang dimunculkan dalam seni tradisi lisan di Madura, cernderung berpadu dengan unsur bunyi yang didengar. Sehingga apa yang kita tangkap kerap menjadi “semacam dengung” yang kemudian dalam pengucapannya menjadi “suara”. Simbol dalam peristiwa kadang tidak selalu sama dengan kata atau kalimat. Tapi dalam peristiwa tradisi rakyat yang kemudian dijadikan folklore masyarakat setempat simbol kata dan kalimat akhirnya menjadi irama.
Sejumlah kalimat bunyi yang barangkali menjadi rabaan bahwa simbol kata dan kalimat dapat disimak pada Syair Tan-mantanan ” //La sayomla haeto lillah/Ya amrasol kalimas topa’//”(http://www.lontarmadura.com/tradisi/tan-mantanan-tradisi-permainan-anak-madura-2/) dst.
Meski demikian kami akan coba konfirmasi kembali kepada pelakunya. Silakan simak artikel yang lain
terima kasih untuk respon cepat dari admin.jika demikian adanya ,kesimpulan sementara saya secara pribadi,adanya proses alih generasi yang demikian panjang dan lama tetapi kurang terpelihara mengenai perihal pakem dari ritual kesenian tsb. sehingga mengaburkan bait-2 shalawat yang dilagukan.saya yakin kalau dari pencipta terdahulunya,sholawat tidak akan berubah dari bahasa aslinya.kecuali mengenai panjang pendeknya mengikuti irama lagu.
Terima kasih kembali. Tugas kita selanjutnya hanya meluruskan dalam realitas kehidupan