Pengembangan Pariwisata Budaya Madura

Berbasis Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Pantai

A. Latief Wiyata *)

Jembatan Suramadu

Di pulau Madura terdapat cukup banyak tempat-empat wisata, baik wisata yang berlokasi di pedesaan maupun di kawasan pantai. Namun sejauh ini tempat-tempat wisata tersebut belum dikelola dengan baik. Agar di masa-masa mendatang tempat-tempat dan obyek-obyek wisata budaya Madura tetap eksis dan terus digemari oleh orang Madura sendiri serta orang-orang luar (baik domestik maupun manca negara), diperlukan konsep dan perencanaan yang jelas tentang pengembangannya. Pariwisata budaya dapat diartikan sebagai pariwisata yang bertumpu pada kegiatan-kegiatan budaya masyarakat. Sebagai salah satu kelompok etnik di Jawa Timur, masyarakat Madura memiliki identitas budaya yang khas, berbeda dengan kelompok etnik lainnya, seperti Tengger, Samin, Mataraman, Arek, Tengger atau Pendhalungan. Sebagian besar populasi masyarakat Madura berada di luar pulau Madura hanya sekitar sepertiganya yang menetap di pulau Madura sendiri.

Sebagai kelompok etnik yang berbeda, masyarakat Madura diikat oleh sebuah identitas budaya. Identitas tersebut diakui secara kolektif dan menjadi milik bersama. Identitas budaya merupakan pembeda sosial dari kelompok etnik yang lain. Identitas etnik dibangun dari beberapa unsur budaya yang saling berkaitan. Dua dari beberapa unsur identitas budaya Madura yang sangat mudah dikenali adalah bahasa dan keseniannya. Dalam terminologi lokal bahasa orang Madura disebut basa Madura atau ca’ Madura. Secara linguistik, basa Madura dipandang sebagai salah satu bagian dari dialek (variasi regional) bahasa Melayu, sedangkan sebagian lainnya dipengaruhi oleh bahasa Jawa.

Dari aspek kesenian, masyarakat Madura cukup banyak memiliki seni tradisi lokal, misalnya mamaca atau macopat (seluruh kabupaten), danggak (kabupaten Pamekasan), saronen, topeng dhalang, dan sebagainya. Banyaknya jenis pertunjukan tradisi (performing art) ini paling tidak dapat dijelaskan dari tiga hal. Pertama, secara historis, yaitu sebelum masuknya agama Islam (sekitar abad XV-XVI) kebudayaan Madura tidak lepas dari pengaruh kebudayaan Hindu yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Penyelenggaraan kegiatan ritual kerajaan pada saat itu tidak dapat dilepaskan dari media kesenian. Pada gilirannya, kehidupan seni tumbuh dan berkembang dengan baik. Kedua, budaya masyarakat agraris yang begitu kokoh memegang tradisi senantiasa melahirkan seni-seni tradisi. Ketiga, meskipun berbagai kebudayaan etnik dan asing (masa kolonialisme) ikut ”masuk” dalam masyarakat dan kebudayaan Madura, namun apresiasi masyarakat Madura terhadap seni tradisi tetap tinggi. Hal ini membuktikan bahwa mereka memiliki kreativitas dan jiwa akulturatif sabgat baik sehingga merupakan salah satu faktor signifikan yang ikut memperlambat proses ketergusuran seni tradisi di Madura.

Di antara berbagai bentuk seni pertunjukan tradisi yang ada, tidak dapat disangkal kerapan sapi paling menonjol sehingga dikenal oleh masyarakat luar Madura dan manca negara. Sebagai suatu pertunjukan tradisi, tentu saja, kerapan sapi harus dilihat sebagai suatu “institusi pertunjukan” yang melibatkan banyak macam seni-seni tradisi lain. Melalui kerapan sapi sebenarnya masyarakat Madura sedang dan selalu melakukan “perluasan batas-batas” identitas kebudayaannya. Sekalipun demikian, potensi budaya Madura tidak hanya ada pada kedua aspek tersebut (bahasa dan seni), tetapi juga ditemukan pada tradisi-tradisi lokal, seperti upacara-upacara atau ritual-ritual yang berkaitan dengan lingkaran hidup (rites de passage), kegiatan keagamaan, arsitektur rumah tradisional, dan sebagainya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.