Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu budayawan Madura, Zawawi Imron, melalui puisinya yang berjudul “Celurit Emas”. Celurit jangan lagi dilihat semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan diri atau menebas leher orang, akan tetapi bagaimana celurit ini kita maknai sebagai alat untuk “menebas ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan”. (Kadarisman, 2006).
“roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari jiwa. celurit itu hanya mampu berdiam, tapi ketika tercium bau tangan yang pura-pura mati dalam terang dan bergila dalam gelap ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di seberang. meski ia menyesal namun gelombang masih ditolak singgah ke dalam dirinya. nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari akan mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci. celurit itu punya siapa? amin!”
Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi: “Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura” (Cuma orang Madura yang mengerti bahasa madura).
Semangat untuk memajukan Madura ini harus terus diperjuangkan seperti yang tercermin dalam sajak D. Zawawi Imrom dalam kumpulan puisi Celurit Emas-nya:
“Bila musim melabuh hujan tak turun. Kubasahi kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang. Kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu. Akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan. Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku. Di bubung langit kucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu”.
Referensi
- Anonim. 1993. Jawa Timur Membangun. Dokumentasi Hasil Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tingkat II se-Jawa Timur. Surabaya : Bappeda Provinsi Jawa Timur
- Abdurachman, 1979, “Masalah Carok Di Madura”, dalam Madura III, Kumpulan Makalah-Makalah Seminar 1979 dalam rangka Kerjasama Indonesia-Belanda Untuk Pengembangan Studi Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.
- De Jonge. 1989. Madura Dalam Empat Zaman : Pedagang, Pekembangan Ekonomi dan Islam. Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Jakarta : PT. Gramedia
- Dinas Pariwisata, 1993. Jawa Timur, Madura Pulau Pesona. Surabaya : Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur
- Fakhruddin, dkk. 1991. Senjata Tradisional Lampung. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Inventarisasi Dan Pembendaharaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Lampung.
- Kadarisman, “Rekonstruksi Citra Budaya Madura”, Jawa Pos, 24 Desember 2006
- Maman Rachman, 2001, “Reposisi, Re-Evaluasi Dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa”, dalam www.depdiknas.go.id, dikunjungi : Maret 2007
- Nurhajarini, dkk. 2005. Kerusuhan Sosial Di Madura, Kasus Waduk Nipah Dan Ladang Garam. Kementerian Kebudayan Dan Pariwisata.
- Pelras, C. 1996. The Bugis. Oxford : Blackwell dalam Sukimi, M. F. 2004. Carok Sebagai Elemen Identiti Masyarakat Madura. Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia.
- Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005, “Clurit dan Memudarnya Makna Carok”, dalam www.liputan6.com
- Subaharianto, A. 2004. Tantangan industrialisasi Madura : membentur kultur, menjunjung leluhur. Malang : Bayumedia.
- Wiyata, A., Latief. 2002. Carok : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. LKis : Yogyakarta.
- Wiyata, A., Latief, 2005, “Budaya Madura Kian Termarjinalkan”, Fisip Universitas Jember.
- Zulakrnain, dkk. 2003. Sejarah Sumenep. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep
(/dari sebuah sumber/)