Dengan demikian segala bentuk “ketidak berhasilan” tidak akan membuat orang Madura patah semangat. Mereka tetap akan menerimanya dengan senang hati sebagimana disimbolisasikan pada bait terakhir dalam lagu itu (liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer). Meskipun bait ini belum saya temukan terjemahannya, namun iramanya sangat jelas menggambarkan suatu suasana kegembiraan dan keceriaan, bukan irama yang meratap-ratap akibat kesedihan.
Masih terkait dengan bait-bait sebelumnya, makna lain dari bait-bait kaka’ èlang ya lè’ sajân jhâu, pajhâuna è lon-alon dapat pula diinterpretasikan dalam konteks semangat merantau. Dengan semangat merantau yang sangat tnggi, sehingga kemudian semangat ini menjadi semacam kewajiban cultural orang Madura.
Artinya, orang Madura sangat terbiasa dengan aktivitas ini. Itu sebabnya, orang Madura tidak segan-segan untuk merantau ke tempat-tempat yang letaknya jauh, dan bahkan sangat jauh, dari kampung halaman demi meraih cita-cita dan keinginan luhur. Sekadar sebagai suatu pembandingan, hal ini berbeda dengan orang dari budaya Jawa, misalnya, yang baru akan berani merantau kalau seluruh lingkungan sosal budaya mereka diikut sertakan (konsep bedol deso dalam budaya orang Jawa merupakan suatu solusi dalam keberhasilan program transmigrasi nasiona).
Secara empirik, semangat merantau ini telah terbukti oleh banyaknya orang Madura tersebar di seluruh pelosok kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke manca negara. Baik mereka sebagai nelayan maupun sebagai pedagang, birokrat, ilmuwan, dan sebagainya. Meskipun mereka harus menuju ke suatu tempat yang sangat jauh, namun tempat-tempat itu hanya dimaknai sebagai “alun-alun”.
Dengan dilandasi semangat yang tinggi, keuletan serta upaya yang sungguh-sungguh, hampir semua perantau Madura berhasil baik secara sosial, ekonomi maupun politik (sesuai dengan kapasitasnya). Bagi orang Madura, kegagalan merantau secara kultural akan dimaknai sebagai suatu aib yang harus dihindari karena akan mendapat cibiran yang menyakitkan dari lingkungan sosial. Hal ini tercermin dalam ungkapan: arapa’a alako u-jhau mon kabada’anna pada bhai (untuk apa pergi merantau sampai jauh jikalau kondisi kehidupan masih tidak masih tetap saja tidak menunjukkan keberhasilan).
Nilai-nilai kultural yang terkandung dalam nyanyian Ghai’ Bintang adalah semangat pantang menyerah orang Madura dalam meraih cita-cita atau keinginan luhur yang mau-tidak mau harus dibarengi oleh upaya kerja keras meskipun dalam kenyataannya kemudian upaya itu akhirnya belum membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Namun berkat kerja kerasnya ketidak berhasilan itu tidaklah fatal, dalam artian capaian yang diperoleh tidak terlalu jauh perbedaannya dengan cita-cita dan keinginan semual. Itu sebabnya, ketidak berhasilan itu tetap disikapi dengan keceriaan.
Nilai-nilai kultral lain yang dapat dipetik dari nyanyian ini adalah berkaitan dengan konsep merantau. Bagi orang Madura merantau merupakan suatu hal yang sudah lazim dan bahkan sebagai kewajiban kultural. Sejauh berapa pun jarak yang harus ditempuh dan lokasi yang harus didatangi tidak akan menjadi penghalang. Semua itu akan dimaknai sebagai layaknya pergi ke alun-alun, suatu tempat yang menjadi konsentrasi berbagai kegiatan yang menyehatkan sekaligus menghibur.
Itu sebabnya, bagi orang Madura pergi merantau bukan merupakan sesuatu yang menakutkan melainkan justru menyenangkan. Implikasi dari semangat itu ditunjukkan oleh keuletan dalam bekerja, daya saing yang sangat kuat, serta motivasi yang tinggi untuk meraih keberhasilan. Lebih kongkritnya, jarang sekali ditemukan atau terdengar kegagalan orang Madura di tanah rantau!
*****
Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional, “Merawat Madura Melalui Modal Budaya”, (Youth Of Cliquers Book – Pemkab Pamekasan)