Lok-alok tidak tampil pada akhir acara itu, tetapi pada akhir acara serupa yang diselenggarakan di tingkat desa, atas prakarsa perorangan, misalnya untuk membayar hajat. Di dalam hal itu, pasangan sapi ditata agar lari satu per satu di sebidang ladang yang masih terbuka—karena paceklik—dan tanpa lawan tanding, babak seleksi, ataupun hadiah .Di dalam lomba yang pernah acara lok-alok dilaksanakan pada akhir acara perlombaan, bila sapi hanya berlari satu kali, atau di antara seri perlombaan pertama dan seri kedua bila sapi berlari dua kali. Acara yang terakhir mi lebih umum.
Karapan sapi jantan dilkuti banyak peserta (antara 40 sampai 60 pasangan sapi) dan, karena itu, pasangan sapi ditata dalam beberapa barisan sekaligus supaya lok-alok selesai seluruhnya sebelum malam. Berdasarkan panggilan dan pengeras suara, gelombang demi gelombang sapi bersiap-siap di ujung lapangan sementara gelombang yang lain sudah maju teratur dengan gagah ke tengahnya.
Setiap pasang disertai pengemudinya, anggota keluarga pemilik dan pengurus, teman, tetangga, dukun (dhukon), serta orkes saronen atau penggantinya, yaitu sebuah tape-recorder dengan pengeras suaranya. Kadang-kadang arakan itu didahului oleh kuda yang meloncat-loncat (jharan kenca’), yang dilatih untuk berjalan sambil berjingkat seolah mengikuti irama musik. Kemudian sapi berpasangan itu berhenti dalam posisi berbaris di tengah penonton. Musik dan hadirin dipersilakan untuk tenang, sementara semua anggota pengiring arak-arakan sapi, seperti yang disebutkan di atas, duduk di belakang pasangan sapinya. Kemudian, setiap pemilik sapi menugasi seseorang untuk mewakilinya, orang itu disebut tokang lok-alok .
Dengan memegang mikrofon di suatu tangan, dan kerapkali dengan pecut di tangan Iainnya, tukang lok-alok itu mengumumkan nama baru sang sapi. Nama itu akan berlaku pada seluruh tahun berikutnya. Pengumuman itu disertai pidato yang kadang-kadang panjang. Setelah tukang lok-alok selesai mengumumkan nama semua pasangan sapi, orkes kembali bermain mengiringi sejumlah orang yang mengimprovisasi beberapa langkah tari di hadapan sapi yang berbaris diam itu. Akhirnya gelombang sapi yang baru saja dibeni penghormatan melalui tarian itu bergerak maju kembali, guna memberikan ruang untuk gelombang baru: sapi, manusia, dan musik.