Kesan serupa dapat juga dilihat pada halaman 57 alinea pertama yang berbunyi:
“… Orang-orang kecil sangat takut kepada orang Sampang. Dandangwacana sampai di Kajoran, sikapnya sangat sombong. Negeri Pajang yang takluk diinjak-injak. Orang di dalam kota sangat takut dijarah orang Sampang …”
Dari kedua sampel di atas jelas dapat ditangkap pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa orang Madura suka membunuh, menjarah, dan menyiksa orang-orang yang sudah tidak berdaya. Penggambaran orang Madura seperti ini sebenarnya bukan hanya sekedar stereotipe tapi sudah sampai pada tingkatan stereotipe ekstrim yang bahkan tidak memberi peluang sekecil apapun bagi sebagian orang Madura lainnya untuk meluruskan fakta yang sebenarnya bahwa orang Madura bukan hanya para perusuh itu.
Sedangkan yang terkait dengan keberanian orang Madura seperti yang ada pada halaman 35 alinea kedua yang berisi ucapan raden Trunajaya kepada utusan yang berbunyi:
“… Laporkan kepada Eyang bahwa saya tidak bermaksud melarang orang Madura menghadap ke Mataram. Ini semua karena gilanya orang Sampang yang tidak mau diperintah. Jika ada perintah agar mengerahkan orang Madura menyerbu ke Demung saya persilahkan. Jangankan siang, malam hari pun saya persilahkan …”
Dari sampel tersebut terkesan seolah-olah orang Madura tiada duanya dalam hal keberaniannya dan kesiapannya dalam menghadapi pertempuran. Di samping itu juga dapat ditangkap kesan seolah-olah orang Madura itu hobinya bertarung dan bertarung di mana saja dan kapan saja.
Penggambaran orang Madura dalam Buku itu mirip sekali dengan personifikasi Darsam dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Secara tragis Pram bahkan mendeskripsikan Darsam yang kebetulan juga berasal dari Sampang sebagai orang yang tidak dapat menyelesaikan persoalan selain dengan jalan kekerasan yang disimbolkan dengan parang yang selalu dibawa ke manapun ia pergi.
Sumber: http://badrus-syamsi.blogspot.com/