Tradisi Carok Sebagai Substansi Substansionalistik

Ainur Rahman Hidayat

Ilustrasi

Tradisi carok sebagai perilaku budaya dalam dirinya sendiri (tradisi carok — kalau boleh meminjam istilah das ding an sich-nya Kant dalam arti lain—sebagai  “das ding an sich”) sudah dapat dipastikan tidaklah bersifat nir makna. Apa gerangan yang kita maksudkan bila berkata bahwa tradisi carok itu ada? Apa yang mau diungkapkan, bila kita menyadari bahwa di belakang segala perubahan ada sesuatu yang tetap, sesuatu yang bermakna dalam dirinya sendiri? Tradisi carok sebagai “das ding an sich”, yaitu carok dalam dirinya sendiri memiliki muatan makna. Tradisi carok sebagai substansi yang substansionalistik memiliki muatan makna yang mendasari segala motif perilaku carok. Bahwa sesuatu itu ada, bahwa sifatnya demikian, itu sudah merupakan putusan-putusan yang mengandaikan bahwa segala sesuatu yang ada dapat diungkapkan.

Dalam konsep substansi yang substansionalistik itu secara tersirat sudah terdapat petunjuk bahwa segala sesuatu dalam dirinya sendiri mengandung suatu arti atau nilai, yang bersifat independen dan berdikari. Tradisi carok yang kita amati dengan aneka perilaku dan motifnya lalu secara langsung bertalian dengan “kapasitas” manusia sebagai subjek, yang ingin mengungkapkan muatan makna tradisi carok tersebut.

Metafisika substansi yang substansionalistik hanyalah merupakan pencarian prinsip yang bersifat pertama, independen dan berdikari; untuk membuktikannya, harus diacukan pada sesuatu yang tidak berada di luar dirinya sendiri. Dalam terminologi Aristoteles, metafisika (substansi yang substansionalistik) merupakan pencarian prinsip pertama, independen dan berdikari yang jelas dalam dirinya sendiri (Sontag, 2002: 82-83).

Kekerasan itu esensial dalam tradisi carok. Segala aspek pembunuhan dan motifnya pada peristiwa carok merupakan sifat yang tumbuh dalam dirinya sendiri, sebagaimana biasanya sebagai suatu tradisi carok. Namun bahwasanya tradisi carok merupakan sesuatu yang berada dalam lingkup memelihara harkat, martabat, kebanggaan dan prestise sebagai oreng jago adalah aksidensi bagi eksistensi carok yang khas.

Dapatkah kita menempatkan tradisi carok dalam masyarakat Madura yang tidak dapat direduksi, yang dengan memahami konsep tersebut kita akan mendapatkan dasar analisis dan pemahaman atas semua kekerasan dalam tradisi carok yang mungkin? Hal ini merupakan persoalan yang sangat penting bagi kemungkinan metafisika substansi yang substansionalistik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.