Itulah beberapa nasehat orang tua kepada generasi penerusnya sebagai bekal untuk mengarungi samudra kehidupan, baik dalam aspek agama, sosial, perjuangan maupun pengabdian kepada bangsa dan negara. Dalam peribahasa Madura nasehat tersebut dikenal dengan sebutan Oca’ se tello’ (Madura : Ucapan yang tiga), karena nasehat tersebut terdiri dari tiga ucapan yang mengandung tiga maka baik dalam aspek agama, moral, sikap dan perilaku dalam hubungannya dalam Tuhan, masyarakat, bangsa dan negara. Nasehat-nasehat tersebut seringkali disisipkan dalam pementasan Ketoprak Sandur atau dalam seni pertunjukan lain seperti ludruk misalnya.
Dalam penelusuran data tentang pementasan Kethoprak Sandur baik didaerah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep pada prinsipnya terdapat kesamaan yang membedakan antara daerah satu dengan daerah yang lainnya adalah dalam hal pengucapan dialog dalam setiap lakon-lakon cerita. Di daerah Sampang misalnya pengucapan dialog terkesan lebih atraktif dengan logat berbicara yang relatif lebih keras (Khas Madura) sedangkan didaerah Sumenep di ujung paling timur Pulau Madura, logatnya relatif lebih halus sebagaimana di Keraton Yogyakarta atau Surakarta (Di Jawa).
Ketika ditanyakan bagaimana eksistensi Kethoprak Sandur saat ini, Kethoprak Sandur masih di jumpai di Kabupaten Pamekasan seperti di desa Kangean, Larangan Tokol atau Tlanakan, Nyelabuh dan Bugih sedangkan di Kabupaten lain seperti Bangkalan, Sampang (Ketapang)dan Sumenep diyakini sudah ada, hanya nama tempat dan desanya tidak diketahui Dalam perkembangannya saat ini, Kethoprak Sandur sudah sangat jarang, Fenomena ini boleh jadi akibat begitu banyaknya alternatif hiburan yang sangat impresif dan variatif, baik yang ditonton melalui layar televisi, maupun dari panggung-panggung seni pertunjukan lainnya.
Namun demikian, masih ada juga pementasan Kethoprak Sandur yang diadakan dalam acara-acara khusus seperti Remo atau Akarja (Madura : Hajatan) atau bisa juga khitanan dan pernikahan. Kethoprak Sandur biasanya dipimpin oleh seorang jawara yang disegani dan diyakini ilmu kesaktian demikian juga dengan pemain Kethoprak Sandur adalah orang-orang pilihan dalam arti memiliki ilmu Kanuragan atau ilmu bela diri yang cukup tinggi atau setidak-tidaknya untuk dapat bergabung dalam kelompok Kethoprak Sandur (pada saat itu) harus memiliki bekal bela diri dan amalan doa (di Jawa : Mantra-mantra).
Biasanya setiap pemain dari penabuh Gamelan, Penari Hingga Pemeran Cerita (aktor) sudah dibekali dengan mantra-mantra yang tujuan nya adalah untuk memproteksi serangan dari pihak musuh-musuhnya, baik dengan orang-orang yang tidak suka dengan Kethoprak Sandur tersebut maupun penjajah belanda pada saat acara tersebut dipentaskan. Dengan demikian pementasan Kethoprak Sandur pada waktu itu, benar-benar diliputi dengan nuansa sakral. Maka tidaklah mengherankan apabila pada saat pementasan berlangsung, mampu memunculkan motivasi semangat juang melawan penjajahan Belanda juga memicu berkobar nya jiwa patriotisme dari para penontonnya.
Seiring dari perkembangan jaman, ketika penjajah Belanda sudah hengkang dari Bumi Madura, Kethoprak Sandur sudah mulai bergeser dari nilai-nilai kesakralan dan heroismenya ke seni pertunjukan yang bersifat hiburan belaka. Hal ini dapat dimungkinkan karena mulai berkembangnya seni pertunjukan lain yang bersifat profan dengan berbagai alternatif penampilan. Dalam perjalanannya, Kethoprak Sandur kemudian sering diundang untuk dipentaskan ketempat-tempat orang yang diindikasikan memiliki ilmu kanuragan yang di kalangan orang Madura di sebut “Bajingan” (Madura: Orang yang memiliki ilmu beladiri yang tinggi, pengaruh besar, kaya yang terkadang bisa berbuat baik tetapi juga berbuat jahat ) sehingga citra Kethoprak Sandur menjadi bias dari eksistensi awal keberadaannya.
xx
Dalam perkembangannya, pada saat pementasan Kethoprak Sandur berlangsung, kadangkala terjadi keributan antara penonton yang berujung kematian yang akibat perkelahian massal dengan menggunakan senjata tajam Celurit yang dikenal dengan istilah “Carok” (Madura: menggunakan senjata khas Madura yang disebut Celurit). Nilai sakral dan heroisme Kethoprak Sandur juga mulai bergeser karena pada saat hajatan dengan pementasan Kethoprak Sandur tersebut tidak jarang pula muncul arena judi dan mabuk-mabuk kan yang berujung berakhir pada perkelahian massal dan kematian.
Setelah era 1980-an walaupun Kethoprak Sandur sudah jarang dipentaskan, namun ada juga yang mengundang nya untuk pementasan dalam acara hajatan tertentu seperti acara khitanan atau pernikahan misalnya, bahkan salah satu Tabbuhan (baca: iringan musik) dari Sandur saat ini sering juga digunakan untuk memberi semangat dan memeriahkan lomba Kerapan sape ( Kerapan Sapi).
sumber: http://bagianjawatimur.blogspot.com