Tak hanya di bidang agama, Sultan Pakunataningrat memang dikenal sebagai seorang yang pakar di bidang bahasa, sastra, budaya, sejarah. Darah dari pihak ibunya, yaitu putri Adipati Semarang, trah Suroadimenggolo, dikenal sebagai keluarga bangsawan yang memiliki perhatian besar terhadap pengetahuan.
Keluarga ini juga dikenal sebagai kalangan cendekia. Bahkan saudara sepupu Sultan, Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo ke-V, yang sekaligus juga mertua Sultan, dipuji oleh Raffles sebagai seorang yang banyak menguasai budaya dan peradaban tanah Jawa.
Dalam buku karya Raffles yang monumental, History of Java, Sultan Sumenep (Pakunataningrat) dan Adipati Semarang (Suroadimenggolo ke-V) ini menjadi kontributor sekaligus narasumber.
Ceritanya pada suatu ketika, Raffles menemukan sebuah lempengan manuskrip berbahasa Sansekerta. Karena bersahabat dengan Sultan Sumenep, dan tahu akan keahliannya di bidang bahasa, dimintalah bantuan pada Sultan untuk menerjemahkan tulisan tersebut. Sultan menyanggupinya dan mengirimkan hasil translit manuskrip. Hasil tersebut ternyata cocok dengan hasil terjemah orang Hindustan yang datang berapa lama kemudian.
“Konon, dari cerita leluhur, Sultan Abdurrahman ini menguasai sekitar 40 bahasa. Ini juga mungkin merupakan salah satu karomah yang dimiliki beliau,” kata R. P. Zainal Abidin Amir, salah satu anggota keluarga keturunan bangsawan keraton Sumenep.
Atas jasanya, Sultan mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang Kebudayaan dari Kerajaan Inggris. Letterkundigenamanya. Bersama dengan gelar tersebut dihaturkan juga sebuah kereta Kencana.
Kereta tersebut selanjutnya menjadi salah satu koleksi Museum Keraton Sumenep yang memiliki daya tarik tersendiri. Kereta Melor, begitu orang Sumenep sejak dulu kala menyebutnya. Meski kata Melor lantas kehilangan maknanya. Sebab nama asli kereta tersebut ialah My Lord, kata asing dari negeri British, yang artinya Tuanku atau Tuan saya.
Dalam beberapa cerita tutur, kereta melor ini jarang digunakan atau mungkin tak pernah digunakan Sultan. Sultan dikenal sebagai pribadi yang suka menjalankan laku tirakat dan hidup bersahaja. Bahkan tak jarang beliau menyepi dan bepergian tanpa ditandu.
“Sultan dikenal sebagai pribadi yang menjauhkan diri dari keduniawian. Bahkan pernah dalam sebuah pertemuan para adipati di Jawa beliau menempatkan emas sebagai terompahnya, saat semua adipati yang menempatkan emas di atas kepalanya. Kata sultan, dunia itu hina, jadi harus di bawah telapak kaki, bukan di atas kepala,” kata R. Idris atau yang biasa disapa Gus Idris, salah satu keturunannya. (R B M Farhan Muzammily}