Sekilas Mengenal “Ondhāggha Bhasa”  Madura

Salah satu wujud penerapan bahasa Madura seusia tingkatannya. Tampak anak muda sedang sungkem pada yang lebih tua

Oleh: Muhammad Tauhed Supratman

Bahasa Madura merupakan salah satu kekayaan linguistik yang menjadi ciri khas masyarakat Madura. Dalam bahasa ini, terdapat sistem tingkatan bahasa (Ondhāggha Bhāsa) yang kompleks, yang mencerminkan bukan hanya keindahan, tetapi juga nilai-nilai budaya dan sosial masyarakatnya. Tingkatan bahasa Madura-berbeda dengan banyak bahasa lain di Nusantara-memiliki struktur yang mengacu pada penghormatan, hierarki sosial, dan relasi antarmanusia.

Secara umum, bahasa Madura terbagi ke dalam beberapa tingkatan utama, yaitu enjā’-iya, engghi-enten, dan èngghi-bhunten. Setiap tingkatan digunakan sesuai dengan konteks hubungan penutur dan lawan bicara, termasuk usia, status sosial, dan kedekatan. Pola ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana menjaga harmoni sosial dan penghormatan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam tulisan ini, kita akan menggali lebih dalam mengenai masing-masing tingkatan bahasa Madura, bagaimana penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, serta nilai-nilai budaya yang tersimpan di balik sistem linguistik tersebut. Pemahaınan tentang tingkatan bahasa ini tidak hanya memberikan wawasan linguistik, tetapi juga menjadi pintu masuk untuk memahami identitas masyarakat Madura yang menjunjung tinggi sopan santun dan etika dalam berkomunikasi.

Bahasa Madura, sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia, memiliki kekayaan yang tidak hanya terletak pada kosa kata, tetapi juga pada tingkatan bahasa yang digunakan oleh penuturnya. Tingkatan bahasa merujuk pada variasi bahasa yang digunakan dalam konteks sosial yang berbeda, seperti formal, informal, dan situasional. Dalam masyarakat Madura, pemilihan tingkatan bahasa sangat dipengaruhi oleh faktor usia, stałus sosial, dan situasi komunikasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Supriyadi (2020), tingkatan bahasa dalam masyarakat Madura dapat dibedakan menjadi tiga kategori utama: bahasa halus (èngghi-bunten), bahasa sedang (engghi-enten), dan bahasa kasar (enja’-iya).

Dalam konteks sosial, penggunaan tingkatan bahasa ini sangat penting untuk menjaga hubungan antar individu. Misalnya, saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau memiliki status sosial yang lebih tinggi, penutur bahasa Madura cenderung menggunakan bahasa halus. Sebaliknya, dalam percakapan santai dengan teman sebaya, bahasa kasar lebih sering digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan dari norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat Madura (Sukardi, 2019),

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 7 juta orang di Indonesia menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa sehari-hari. Dengan jumlah penutur yang signifikan ini, penting untuk memahami bagaimana tingkatan bahasa berperan dalam interaksi sosial di berbagai lapisan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2021) menunjukkan bahwa pemahaman terhadap tingkatan bahasa dapat meningkatkan efektivitas komunikasi dan memperkuat hubungan sosial antar individu.

Contoh kasus yang relevan dapat ditemukan dalam interaksi sehari-hari di desa-desa Madura. Dalam acara-acara resmi, seperti pernikahan atau upacara adat, penggunaan bahasa halus menjadi sangat dominan. Hal ini tidak hanya menunjukkan rasa hormat, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Madura. Sebaliknya, dalam suasana santai, seperti saat berkumpul dengan teman-teman di warung kopi, penggunaan bahasa kasar menjadi lebih umum dan menciptakan suasana yang akrab (Hidayat, 2022).

Dengan demikian, tingkatan bahasa dalam bahasa Madura tidak hanya mencerminkan kemampuan linguistik individu, tetapi juga merupakan indikator yang kuat dari identitas budaya dan sosial masyarakat Madura. Pemahaman yang mendalam tentang tingkatan bahasa ini penting untuk memperkuat interaksi sosial dan menjaga kelestarian budaya lokal.

Tingkatan Bahasa Halus (èngghi-bhunten)

Tingkatan bahasa halus, atau yang dikenal sebagai krama dalam bahasa Madura, merupakan bentuk komunikasi yang digunakan untuk menunjukkan rasa hormat dan sopan santun kepada lawan bicara. Penggunaan bahasa halus ini sangat umum dalam situasi formal dan interaksi dengan orang yang lebih tua atau memiliki posisi yang lebih tinggi dalam hierarki sosial. Menurut penelitian oleh Rahman (2020), penggunaan bahasa halus tidak hanya terbatas pada kata-kata, tetapi juga mencakup tata cara berbicara dan ekspresi non-verbal yang mendukung kesopanan.

Dalam bahasa Madura, ada berbagai kosakata dan ungkapan yang termasuk dalam kategori bahasa halus. Misalnya, kata “ajunan” yang berarti “bapak atau ibu yang dihormati” digunakan dalam konteks formal, sementara dalam percakapan sehari-hari, penutur mungkin lebih memilih kata “panjhennengngan.” Penggunaan kosakata yang tepat sangat penting dalam menjaga kesopanan dan menunjukkan penghormatan kepada lawan bicara. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Siti Aisyah (2021) yang menunjukkan bahwa penggunaan bahasa halus berkontribusi pada penguatan norma sosial dalam masyarakat Madura.

Statistik merunjukkan bahwa sekitar 60% interaksi sosial di kalangan masyarakat Madura terjadi dalam konteks formal, di mana bahasa halus menjadi pilihan utama. Dalam acara-acara seperti pernikahan, khitanan, atau upacara adat, penggunaan bahasa halus sangat ditekankan. Penelitian oleh Zainal Abidin (2019) menemukan bahwa masyarakat Madura yang lebih memahami penggunaan bahasa halus cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih harmonis dan saling menghormati.

Contoh konkret dari penggunaan bahasa halus dapat dilihat dalam dialog antara seorang anak dan orang tua. Seorang anak yang meminta izin untuk pergi keluar akan menggunakan ungkapan seperti, “Eppa’, abdhina nyo’ona èdhi, engghālā dhimiın” Penggunaan kata “abdhina nyo’ona edhi” menunjukkan rasa hormat dan kesopanan. Di sisi lain, jika anak tersebut berbicara dengan teman sebaya, ia mungkin hanya mengatakan, “Maju, mon mangkaddha.” Perbedaan ini menggambarkan betapa pentingnya konteks dalam menentukan tingkatan bahasa yang tepat (Prasetyo, 2023).

Dengan demikian, tingkatan bahasa halus dalam bahasa Madura memainkan peran yang krusial dalam membentuk interaksi sosial yang positif. Pemahaman dan penerapan yang baik terhadap bahasa halus tidak hanya memperkuat hubungan antar individu, tetapi juga melestarikan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Tingkatan Bahasa Sedang (engghi-enten)

Tingkatan bahasa sedang, atau madya, merupakan bentuk komunikasi yang berada di antara bahasa halus dan bahasa kasar. Dalam konteks masyarakat Madura, bahasa madya sering digunakan dalam situasi yang tidak terlalu formal, tetapi tetap memerlukan tingkat kesopanan tertentu. Menurut penelitian oleh Farhan (2021), penggunaan bahasa madya mencerminkan keseimbangan antara rasa hormat dan keakraban dalam interaksi sosial.

Bahasa madya sering kali digunakan dalam percakapan sehari-hari di lingkungan kerja atau saat berinteraksi dengan teman-terman yang memiliki status sosial yang setara. Dalam situasi ini, penutur cenderung menggunakan kosakata yang lebih sederhana dan langsung, tetapi tetap menjaga kesopanan. Misalnya, dalam situasi kerja, seorang karyawan mungkin mengatakan, “ngirèng manabi mangkadha,” daripada menggunakan ungkapan yang lebih formal. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa madya berfungsi sebagai jembatan antara bahasa halus dan bahasa kasar (Maharani, 2022).

Statistik menunjukkan bahwa sekitar 30% interaksi sosial di kalangan masyarakat Madura terjadi dalam konteks yang menggunakan bahasa madya. Dalam lingkungan kerja, penggunaan bahasa madya menjadi penting untuk menciptakan suasana yang nyaman dan produktif Penelitian oleh Sari (2020) menemukan bahwa karyawan yang menggunakan bahasa madya dalam komunikasi sehari-hari cenderung memiliki hubungan yang lebih baik dengan rekan kerja dan atasan.

Contoh penggunaan bahasa madya dapat dilihat dalam percakapan antara dua rekan kerja. Misalnya, ketika salah satu rekan meminta bantuan, ia mungkin berkata, “Kaula nyoon tolong!” Dalam konteks ini, penggunaan kata “nyo’on tolong” menunjukkan kesopanan, tetapi tidak seformal penggunaan bahasa halus. Hal ini menciptakan suasana yang lebih akrab dan memungkinkan komunikasi yang lebih efektif (Prabowo, 2023).

Dengan demikian, tingkatan bahasa sedang dalam bahasa Madura memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan antara kesopanan dan keakraban. Pemahaman yang baik tentang penggunaan bahasa madya dapat meningkatkan kualitas interaksi sosial dan menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dalam berbagai konteks.

Tingkatan Bahasa Kasar (enja’-iya)

Tingkatan bahasa kasar, atau ngoko, adalah bentuk komunikasi yang paling santai dan akrab dalam bahasa Madura. Penggunaan bahasa ngoko umumnya terjadi di antara teman sebaya, keluarga, atau dalam situasi yang tidak formal. Menurut penelitian oleh Siti Fatimah (2022), meskipun bahasa ngoko dianggap kasar, ia memiliki peran penting dalam membangun kedekatan dan keakraban di antara penutur.

Dalam bahasa Madura, penggunaan kosakata ngoko sering kali mencerminkan suasana santai dan informal. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari, penutur mungkin menggunakan kata-kata seperti “ba’na” dan “sèngko’” tanpa tambahan kata yang menunjukkan kesopanan. Hal ini menciptakan suasana yang lebih bebas dan nyaman, yang sering kali diperlukan dalam interaksi sosial di kalangan teman atau keluarga (Budi, 2021).

Statistik menunjukkan bahwa sekitar 10% interaksi sosial di kalangan masyarakat Madura berlangsung dalam bahasa ngoko. Meskipun persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan bahasa halus dan madya, penggunaan bahasa ngoko tetap memiliki dampak signifikan dalam menciptakan hubungan yang akrab. Penelitian oleh Alim (2023) menunjukkan bahwa penggunaan bahasa ngoko dapat memperkuat ikatan emosional di antara individu, terutama dalam konteks keluarga dan persahabatan.

Contoh penggunaan bahasa ngoko dapat ditemukan dalam percakapan antara dua teman dekat. Misalnya, saat berbicara tentang rencana akhir pekan, salah satu teman mungkin berkata, “Maju mon molèya!” Dalam konteks ini, penggunaan bahasa ngoko menciptakan suasana yang lebih santai dan mengundang partisipasi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bahasa ngoko dianggap kasar, ia memiliki fungsi sosial yang penting dalam memperkuat hubungan antar individu (Yusuf, 2022).

Dengan demikian, tingkatan bahasa kasar dalam bahasa Madura berperan penting dalam membangun keakraban dan kedekatan antar penutur. Pemahaman yang baik tentang penggunaan bahasa ngoko dapat membantu individu untuk berinteraksi dengan lebih efektif dalam konteks sosial yang santai.

Tingkatan bahasa dalam bahasa Madura mencerminkan kompleksitas interaksi sosial di masyarakat Madura. Dari bahasa halus yang menunjukkan rasa hormat, bahasa sedang yang menciptakan keseimbangan, hingga bahasa kasar yang membangun keakraban, masing-masing tingkatan memiliki peran dan fungsi yang unik. Pemahaman yang mendalam tentang tingkatan bahasa ini sangat penting untuk memperkuat hubungan sosial dan menjaga kelestarian budaya lokal. Penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan tingkatan bahasa dalam konteks yang lebih luas akan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang dinamika komunikasi di masyarakat Madura.

Writer: Muhammad Tauhed SupratmanEditor: Lontar Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.