Teknik Penyelenggaraan Atraksi Sapè sono’
Penyelenggaraan atraksi Sapè sono’, dibagi dalam dua kategori. Kategori pertama dalam bentuk kontes, kategori kedua dalam bentuk aduan. Dalam bentuk kontes, penilaian ditekankan pada keelokan sapi, lenggak-lenggok sapi waktu berjalan serta aksesoris yang menempel pada badan sapi. Kontes ini diadakan untuk menghibur para penonton sekaligus sekedar melepas kegembiraan, terutama para pemilik sapi. Karena dalam kontes ini, mereka saling memuji dan mengelu-elukan keelokan, kecantikan serta kemulusan sapi. Kontes ini biasanya dalam bentuk parade dan diiringi musik kleningan (gamelan) serta suara merdu pesinden. Dalam penyelenggaraan kontes Sapè sono’, semua peserta mendapatkan hadiah.
Penyelenggaraan kedua adalah bentuk aduan, bertujuan untuk memperebutkan kejuaraan. Dalam aduan ini ada aturan-aturan serta syarat-syarat yang telah menjadi kesepakatan dalam bentuk aturan tak tertulis. Dan pasangan sapi yang ikut dalam aduan ini, dikelompokkan menurut besar kecil ukuran sapi. Pool A, kelompok pertama untuk ukuran pasangan sapi yang paling besar dan tinggi, dengan ukuran badan 120 cm keatas. Untuk pool B, dengan ukuran 111 s/d 119 cm, sedangkan pool C dengan ukuran 111 cm kebawah.
Dengan adanya pengelompokan ini akan terjadi keseimbangan antara pasangan-pasangan sapi yang akan dilombakan. Dengan tujuan memberikan kesempatan kepada para pemilik sapi untuk menunjukkan kebolehan sapi-sapi asuhannya. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan yang sangat tinggi kepada para pemilik sapi.
Aturan main yang diterapkan dalam penilaian bentuk aduan Sapè sono’adalah menghitung pelanggaran (kesalahan) yang dilakukan oleh sepasang sapi. Dalam setiap arena perlombaan, pasangan sapi yang banyak melakukan pelanggaran (kesalahan), akan dinyatakan kalah. Sedangkan pasangan Sapè sono’yang sedikit melakukan pelanggaran (kesalahan), pasangan sapi itulah yang dinyatakan sebagai pemenang.
Sapè Sono’: Asal-usul Kesenian Madura?
Hal-hal yang termasuk dalam penilaian aduan Sapè sono’, adalah :
- Pada saat sapi diberangkatkan dari start sampai garis finis apabila kaki sapi meng-injak lin/garis, akan dipotong 5, meng-injak dua kali dipotong 10. (Setiap kali kaki meng-injak lin/garis dipotong 5).
- Kemiringan pangonong, apabila telah memasuki garis finis, pangonong dari pasangan sapi tersebut miring maka akan dipotong 10.
- Apabila telah sampai ke garis finis, kaki sepasang sapi akan naik bersamaan pada sebuah papan. Kalau kaki sapi langsung turun, akan dikurangi 10, kaki mengangkat akan dikurangi 5.
Dalam setiap penyelenggaraan, baik dalam even kontes maupun aduan, dibentuk suatu kepanitiaan serta tim dewan juri. Tim juri terdiri dari 7 orang, 3 juri bertugas digaris start, 3 juri di garis finis dan 1 juri waktu.
Di garis start, 3 juri bertugas untuk memberangkatkan pasangan sapi, sekaligus membawa bendera berwarna merah-biru-kuning. Tugas ke- 3 juri tersebut adalah mengikuti jalannya sapi sampai ke garis finis, sekaligus mencatat setiap pelanggaran (kesalahan) sapi.
Penilaian dititikberatkan pada kaki-kaki sapi yang meng-injak lin/garis di samping kanan dan kiri. Sesampai di garis finis, telah ada 3 juri yang akan mencatat setiap pelanggaran (kesalahan), yaitu pada waktu pasangan sapi menaikkan kaki secara bersamaan, apakah kaki diangkat bersamaan atau turun bersamaan. Sedangkan juri waktu ber-tugas menilai ketepatan waktu saat sapi berada di panggung,
Untuk mendapatkan kategori kejuaraan, diadakan babak penyisihan. Pasangan sapi yang menang, akan dilomba kembali dengan pasangan yang menang. Begitu pula dengan pasangan sapi yang kalah, akan bertemu dengan pasangan yang kalah. Setelah acara penyelenggaraan usai, maka akan ditentukan juara dari kelompok pemenang, juara I, II dan III. Begitu pula dari kelompok kalah, akan ditentukan juara kelompok kalah I, II dan III.
Sebelum acara perlombaan dimulai, biasanya sapi-sapi yang akan dilombakan diarak terlebih dahulu. Dalam acara pawai ini telah diketahui pasangan sapi yang akan masuk daftar unggulan. Hal itu dapat dilihat dari keluwesan sapi saat berjalan ataupun pasangan sapi yang demikian gemulai melenggak-lenggokkan badan, aksesoris yang dipakai ataupun kemulusan kulit sapi.
Sebelum acara pawai ataupun perlombaan dimulai, pasangan sapi telah didandani sebagus mungkin. Setelah dimandikan, pasangan sapi tersebut disatukan dengan pemasangan pangonong. Biasanya diatas pangonong ada 2 atau 3 pancong dengan berhiaskan miniatur burung atau kuda, setelah itu dipasang kalung (gungseng), sehingga menimbulkan suara gemerincing. Langkah selanjutnya adalah pemasangan sabrek (kain), yang dihiasi oleh benang-benang emas, baik yang dipasang di leher sapi ataupun yang dipasang pada bagian tubuh yang lain.
Penampilan sapi semakin keren dengan pemasangan selop tanduk di kepala, selop tanduk terbuat dari tembaga putih. Setelah selesai pemasangan semua aksesoris, barulah pasangan sapi itu memasuki arena perlombaan.
Dalam acara pawai penampilan pasangan Sapè sono’itu sangat keren, tak kalah bersaing dengan para peragawati yang berlenggak-lenggok di atas calk walk. Diiringi tiupan Saronen yang mendayu-dayu, hentakan gendang, gurcak dan gong, sapi-sapi itu pun menggoyang-goyangkan badan sesuai dengan irama. Sementara itu, para pemilik sapi menarik tali kekang sambil menyatukan langkah dengan hentakan musik. Bersaing dengan pasangan sapi yang dihelanya, sama-sama melenggak-lenggokkan badan, menyatu dalam irama menghentak, mengiringi sapi-sapi yang tampil anggun, cantik sekaligus gagah.
Tentu saja atraksi sepasang sapi betina yang mampu menggunakan perasaannya, mengenal alunan musik, patuh, taat pada aturan, disiplin serta mampu berjoget merupakan sesuatu hal yang sangat menakjubkan. Prestasi membanggakan tersebut dapat di raih berkat ketelatenan, keuletan, ketekunan dan kesabaran yang tinggi dari para pemilik sapi/pelatih sapi.
Disamping itu dapat dilihat betapa erat jalinan hubungan yang dimiliki para petani/pemilik sapi ini terhadap makhluk hidup lainnya. Perlakuan manusiawi yang ditunjukkan para pemilik sapi merupakan contoh nyata yang patut ditiru. Kultur tersebut patut dipertahankan dan dilestarikan kembali, untuk membentuk manusia humanis.