Muhammad Tauhed Supratman
Realita Sosial, memang selalu aktual untuk dibicarakan, karena di dalamnya terangkum profesi kehidupan. Kesusas-traan adalah cabang dari ilmu sosial yang telah turut mengang-kat realita sosial melalui berbagai karyanya. Inilah yang oleh Arief Budiman disebut sebagai sastra kontekstual. Dari karya sastra kontekstual kita dapat melihat ketinggian kemajuan peradaban serta kebudayaan setiap masyarakat, dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar anggotanya masih sangat akrab dengan budaya tutur, maka wajar jika telaah sosial didekati melalui sastra lisan. Papareghan, sebentuk pantun dalam bahasa Madura tergolong dalam sastra lisan, juga bisa digunakan sebagai alat untuk meneropong realita sosial masyarakat Madura.
Dalam realitas sosial kita, papareghân (pantun Madura) telah berhasil “memotret” fenomena kehidupan masyrakat Madura dari waktu ke waktu, seperti terlihat dalam pantun berikut: Pan-sampanan jhâ‘ nga-nengnga/Jhuko’ langghung épalappaé/Abhâkalan jhâ‘ na-perna/Mon ta’ langghâng arassaé// (Terjemahannya: Main perahu jangan ke tengah lautan/ikan tengiri diberi bumbu//Bertunangan jangan terlalu akrab bergaul/kalau tidak kuat iman terjerumus hubungan badan di luar nikah//).
Atau: Pan-sampanan jha’ nga-nengnga/Ngarambâng taléna panceng// Abhâkalan jhâ‘ na-perna/Parabân karena lanceng// (Terjemahannya: Main perahu jangan ke tengah lautan/terapung talinya kail//bertunangan jangan terlalu akrab bergul/keperawanannya nanti tereng si pemuda//).
Pantun di atas menggambarkan kepada kita bahwa ketika bertunangan jangan terlalu akrab supaya tidak terjadi hubungan yang tidak diinginkan oleh masyarakat lebih-lebih oleh keluarganya, misalnya saja sampai terjadi hubungan di luar pernikahan, agar nantinya setelah menikah tetap perawan dan jejaka.
Baik saat menikah dengan tunanganya, maupun saat menikah dengan pemuda lain (jika pertunangan putus). Dapat pula dijelaskan, jika bertunangan jangan terlalu lama, karena di hawatirkan dua orang yang berlainan jenis itu tergoda untuk segera melakukan hubungan di luar nikah (zina).
Maksud pantun di atas mendidik pemuda-pemudi khususnya yang sedang bertunangan agar tetap menjaga jarak dalam bergaul, dan wajib memegang nilai-nilai atau norma-norma baik norma agama maupun norma masyarakat sebagai pedomannya. Hal di atas dimaksudkan agar tidak berakibat fatal dalam hidupnya, terlebih kehidupan di akhirat kelak. Dua pantun di atas sangat jelas bagi kita, menggambarkan kehidupan masyarakat Madura yang terkenal religius itu,
Di samping fenomena pergaulan lawan jenis diluar nikah tersebut, pantun Madura juga berhasil “memotret” realitas sosial berupa sikap seorang anak terhadap kedua orang tuanya, seperti terlihat dalam pantun: Ngala’ séré epépéssa/Esarénga ghân sakoné‘//Kaneserré oréng towa/Semeyara kabit kené‘ (‘Terjemahannya: Mengambil sirih akan ditumbuk/akan disaring sedikit demi sedikit//sayangilah kedua orang tuanya/yang merawat kita sejak kecil//)
Maksud pantun di atas bahwa ketika seseorang itu telah mapan atau sukses dalam kehidupannya baik secara moril maupun materiil janganiah sampai lupa diri, maksudnya seseorang itu harus tetap ingat kepada jasa-jasa orang tua yang merawat, membesarkan, dan mendidiknya sejak kecil. Hal ini bisa berbentuk sikap santun, patuh, atau pemberian yang berupa materi.
Isi pantun di atas mendidik seorang anak, agar setelah dewasa dalam keadaan apapun (kaya/miskin) agar tetap atau selalu berbakti kepada kedua orang tuanya, lebih-lebih pada orang tua perempuan yang telah mengandung, menyusui dan membesarkannya. Hal ini sesuai dengan hadist nabi ” Surga itu terletak di telapak kaki ibu”.
Selain itu, pantun Madura juga telah “memotret” kehidupan dalam pergaulan. Dalam pergaulan hidup sehari-hari kita jangan sampai berperilaku tidak jujur kepada siapa pun, seperti terdapat daları pantun: Sabu keccék akopéan/Somorra bâdâ edâjâ//Lamon lécék sakalean/Saomorra ta’ ekaparcajâ (Terjemahannya: Sawu kecik berbotol-botol/semurnya ada di sebelah Utara//kalaulah licik satu kali/seumur hidupnya tak akan dipercaya lagi//)
Pantun di atas menggambarkan sebuah hukuman yang berbentuk hukuman moril kepada seseorang yang telah berperilaku tidak jujur atau melakukan sebuah kebohongan. Siapapun yang pernah melakuakan tindakan tidak jujur walaupun hanya satu kali, maka selamanya ia tidak akan dipercaya.
Dapat pula bermakna, tidak mudah bagi masyarakat untuk mempercayai kembali seseorang yang pernah berbohong, walaupun hanya satu kali. Dan pantun diatas mendidik masyarakat agar selalu bertindak jujur dalam kehidupannya, dan mencegah berprilaku tidak terpuji tersebut.
Dalam pantun Madura juga telah berhasil “memotret” kehidupan bermasyarakat atau bertetangga, seperti bunyi pantun: Mellé sokon ka bliga/Karenneng bâddhâna nangka//Kodhu rokon bân tatangghâ/Ma’ senneng odi’na dhika (Terjemahannya: Membeli sukun ke Blega/karenneng(sejenis tas dari janur muda) wadahnya nangka/henčaklah hidup rukur dengan tetangga/agar kau hidup senang//).
Pantun di atas mengajarkan pada kita bahwa dalam hidup bertetangga, kita harus rukun, saling menghormati, dan tolong menolong. Jika sudah demikian maka hidup akan terasa senang dan tentram, jauh dari rasa permusuhan. Dan pantun tersebut mendidik masyarakat akan pentingnya hidup rukun dalam bertetangga atau bermasyarakat.
Itulah secuil “potret” kehidupan masyarakat Madura yang telah berhasil direkam dalam bentuk pantun tersebut.
Tulisan ini diangkat dari buku “Oase Madura”, penulis Muhammad Tauhed Supratman, (Penerbit: L’Avenir, Juli 2025)