Pangkak, Perjodohan dan Panen Padi

Saat yang ditunggu telah tiba, yakni saat panen padi telah tua menua, kuning dan bernas. Pada situasi itu secara spontan kesenian Pangkak digelar dengan para pelakunya semua terdiri dari kaum laki-laki. Sedang untuk perempuan cukup menonton dan menikmati seraya memotong padi di tengah sawah.

Pangkak adalah bentuk kesenian yang lahir dari suara, atau musik mulut dan diikuti dengan gerak tari-tarian. Kesenian ini tentu akan menjadi daya tarik masyarakat sekitar menyaksikan. Hal ini menjukkan kegembiraan dan suka cita yang dalam sekalgus sebagai penyemangat kaum perempuan ketika memanen padi, dan berlangsung sampai kerja panen tersebut selesai. Pada dasarnya kostum pemain Pangkak cukup rapi, yakni dengan mengenakan sarung merah, baju putih dan memakai blangkon (sengel).

Setelah panen selesai, maka ikatan padi pun  diangkut dengan naik uda secara beriring – iringan. Konon, selama perjalanan sampai di rumah si empunya pagi antara besan laki-laki dan perempuan terjadi dialog untuk menyepakati pernikanan anak-anak mereka. Dan bila waktunya disepakati, maka satu bulan sebelum anak nikah dilaksanakan, besan laki-laki memenuhi tradisi ini, yakni acara Pepenta’an (permintaan)

Pepenta’an dilakukan dengan mengundang sanak familinya sendiri dan tetangnga terdekat. Pepenta’an dilaknakan pada sore hari, dan mereka berbondong – bondong sepanjang jalan dengan sekitar 300 orang. Dan mereka membawa bawaan kue-kue seperti rangginang dan lainnya serta perabut rumah tangga seperti lamari, ranjang, kasur dan lain–lain dan diiringi kesenian Gendeng Dumek .Setelah itu, pada keesokan harinya dari pihak perempuan mengadakan acara balasan ke tempat pihak laki–laki yang kemudian disebut Bebelesan (balasan).

Selanjutnya sampailah pada hari akat nikah dan biasanya dilaksanakan secera sederhana. Dalam prosesi pernikahan, kemudia dilakukan acara Panganten Atolo, yaitu sang pengantin laki–laki mau memasuki rumah pengantin perempuan dan dilakukan saat malam hari, dan diiringi  para keluarga. Pesyaratannya, sekitar lima meter dari pintu masuk, pengantin laki-laki dan rombongannya harus jalan berjongkok sambil kedua tangannya menyalami kedua mertuanya. Sedangkan pengantin wanitanya menunggu di dalam kamar. Dan saat memasuki kamar itulah sorak sorai dan tepuk tetamu terundang tak henti-hentinya bergerumuh. Hal ini menadakan bahwa mereka telah terjalin sebagai suami istri..

Keesokan harinya, tuan masih melanjutkan dengan mengadakan hiburan Kokocoran dilaksanakan sore hari, yaitu para keluarga daan kerabat menari-nari mengelilingi kedua mempelai dengan iringan gamelan. Dan pada malam kedua, dilanjutkan kesenian seperti Macopat (biasanya semalam suntuk), sedang kedua mempelai tidak diperbolehkan tidur selama acara ini berlangsung agar mengikuti acara macapat ini, yang banyak bercerita tentang nilai-nilai kehidupan, dan disebut Kapotren.

Seperti umumnya yang terjadi pada masyarakat Jawa dan Madura, nilai kekerabatan ini terus diperkuat sampai sang istri hamil, selamatan tujuh bulan kandungan, sambil melahirkan. Yang kemduian dilanjutkan agiqah setelah bayinya berusia 40 hari, sekaligus pemberian nama bayi.

Baca juga: Kesenian Pangkak: Upacara Pemotongan Padi

(Auli/Lontar Madura)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.