Madura, Kaulah Sudiha

Antologi Puisi Martawi & Sudiha, dalam Debur Rasa

Pada lampiran ke tiga Debur Ombak-nya, Masmuni kelihatan ingin sejenak berhenti dengan pengembaraannya. Dari sinilah ia ingin pulang. Ke mana ia pulang, kalau bukan ke Sudiha? Sudiha adalah gadis impian Martawi, dan impian Masmuni sendiri.

Dan bagi Masmuni, Sudiha lebih dari kekasih yang diinginkannya. Sudiha adalah harapannya, tapi juga pembatas yang tak mungkin dilampauinya. Sudiha adalah kelegaan dan kegembiraannya, tapi juga keputusasaan dan kesedihannya. Sudiha adalah bayang-bayang kebebasannya, tapi juga tradisi yang membatasinya.

Bagi Masmuni, Sudiha juga kesemestaannya, masa kecil-nya, keindahan pengalaman religiusitasnya. Pada Sudiha, ia boleh merasakan kedekatan dan cinta yang hendak ditumpahkannya pada Penciptanya. Dan akhirnya, Sudiha adalah Madura sendiri. Baginya menginginkan Sudiha adalah pulang kembali ke Madura, dan berharap hujan segar jatuh di sana:

Sudiha, embun pagi,
Tampung di alis sendiri
Bunga-bunga mesti mekar tiap hari
Ke Madura hujan biar kembali
Kau dan aku tak lebih kerapan sapi
Berjarak mimpi.

Tampak dalam puisi Masmuni, Sudiha adalah kenangan manis akan masa mudanya di pesantren. Di sana, ia jatuh cinta. Dan cinta itu masih terus menyala, ketika merindukan cinta akan surga yang melebihi Sudiha:

Sudiha, ini malam
Kujadikan bantal rindu yang mendalam
Nyanyian lautan
Pasti kurangkum demi kemesraan
Kau, Sudiha, Santriwati bersanggul doa
Surgaku yang terus menyala

Sesekali merasuk sukma.

Akhirnya, betapa pun Sudiha juga menyadarkan keterba-tasan dirinya. Di sinilah ia mengeluh, Madura adalah rahim bersama, mengapa Sudiha tak bisa memeluknya? la mengerti arti rindu yang tersulam, tapi ia tak dapat mengikatkan rindu itu pada Sudiha. Apakah hanya karena ia hanyalah jelata yang darahnya hitam? Betapa kejam beda kasta yang ia alami. Di sinilah ia berkhayal:

Sekira bukan dari Madura
Kulamar kau sejak awal tukar sapa
Tuhan terus kurayu selurus napas
Masih saja cumbu térabaikan di pojok teras
Apa yang kau simpan di lorong tua
Cubitan itu sering kurawat dalam air mata

Sudiha, sekira bukan dari Madura
Kusekap kau dalam rongga
Tanpa campur-lebur jepitan mantra.

Tapi Sudiha adalah Madura, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masmuni mesti menerimanya, la tak bisa ber-khayal seakan Sudiha bukan Madura. la mungkin kesal, karena hasratnya tak kesampaian. Tapi tidakkah hasrat tak kesam-paian itu juga nasib setiap manusia? Jangan menyalahkan Madura karena tradisinya, di mana pun manusia sering terhenti hasratnya, dan terpaksa harus membendung cintanya dalam kerinduan belaka.

***

Puisi Masmuni adalah sebuah peristiwa, bagaimana menyusun keindahan berdasarkan kearifan lokal. Dan tampak pada puisi-puisinya, kearifan lokal itu bukan hanya sekadar untuk diuri-uri, dipuja-puji, tapi juga untuk dikritisi. Bekerja bersama dengan kearifan lokal itu jelas puisi bisa beroleh peluang untuk berani melampaui keterbatasan yang ada tradisi, tanpa harus memusuhinya. Dengan demikian, tradisi akan terus hidup dan dihidupi.

Puisi Masmuni tidak memastikan mana yang benar. Tapi jelas, dengan upaya keindahannya, ia sedang mencari apa yang benar, dengan mencintai apa yang baik dalam tradisi yang diwarisinya. Dengan puisi-puisinya, ia ingin menggambarkan, siapakah manusia Madura yang dengan jujur hendak dicarinya.

Madura darah kita

Lupa alur-alur sorot wanita.

*****

Tulisan merupakan pengantar/prolog buku Antologi Puisi, Martawi & Sudiha, dalam Debur Rasa, Penulis: Masmuni Mahatma, Penerbit Lingkarantarnusa Yogyakarta, Juli 2025

 

Writer: ShindunataEditor: Lontar Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.