Tidak mudahlah bagi Martawi dalam bergelut dengan persoalan itu. Dilanda pergulatan itu, ia tak tahu, apakah ia harus mengasah celurit kecemburuannya, atau menyembunyikannya di bantal kepalanya. la bergulat dan terus bergulat, sampai ia tidak tahu lagi siapa dia:
Martawi semalam kulihat
Kau asah dada dan ujung celurit
Di bawah bantal kepala yang sakit
Kau usir angin dari jendela
Kau bekap embun di ruang kedap cuaca
Kau tertawa tanpa suara
Berulangkali cemberut dan mencerca
…..
Martawi, kau ini siapa?
Bikin tubuhku penuh bara.
Masmuni tahu kebingungan Martawi. Tapi lewat puisinya, ia tak ingin terus larut dalam kebingungan itu. Setidaknya ia mengingatkan, justru di tengah orang kehilangan akal, masih ada rasa yang bisa bicara dalam kebingungan itu. Rasa bisa menentramkan orang, ketika akalnya garang karena dendam. Maka pada Martawi pun dilayangkanlah pesan:
Jika kau lelaki sejati
Tulis pelan-pelan pesan ini
“Kita hidup dalam debur rasa, bukan nalar semata.
Sering nyanyi saat bertemu sepi, bukan tertawa ketika tahu ada luka. Kau tanam api di kayu jati, keluar darah di ulu hati. Bersiaplah untuk diam di hadapan Tuhan, agar celuritmu tahu arti kejantanan”.
Tampak dengan puisinya, Masmuni juga ingin menyam-paikan protes terhadap tradisi yang membuat orang tidak mempunyai kemungkinan. Rasanya, Martawi adalah orang yang statusnya tak mencukupi bila ia harus mencintai Sudiha. Sementara Sudiha kelihatannya sudah jadi milik orang juga. Atau setidaknya, ada orang lain yang lebih berhak memilikinya. Tapi Martawi tak boleh menyerah. Dan Masmuni mendesak, memberanikannya, demi lelaki bersahaja yang juga berhak untuk memperoleh cinta Sudiha:
Martawi, ambillah Sudiha
Kawini atas nama lelaki bersahaja
Simpan celuritmu di atas sajadah
Leburkan sabukmu di sumur tanpa darah.
Janganlah Martawi menyerah kalah. la harus terus melebur dalam dzikir. Tapi jangan sampai puisinya berakhir dengan takdir. Biarkan bongkahan-bongkahan batu di dadanya menjadi menara penuh lampu, yang menyala sampai membuat langit cemburu. Dan ia harus terus yakin, cintanya pada Sudiha adalah suci, sesuci yang tersimpan di surat-suratnya:
Surat-suratmu pada Sudiha masih suci
Tak ada satupun kata ternodai
Aroma bisikmu pada Tuhan malam hari
Kukentalkan di balik kerudung ibu
Selimut tidur saat kelopak matamu berdebu
Masmuni kelihatan benar-benar ingin memperjuangkan cinta atas dasar kesamaan hak yang dipunyai setiap manusia, sejelata apa pun dia. Maka tak tanggung-tanggung, ketika ia merasa Martawi sendiri merasa canggung, ia pun ingin benar-benar menjadi Martawi seperti ia bayangkan, Martawi yang berani melawan takdir:
Panggil aku Martawi, Teman
Di balik takdirmu aku terus bercermin.
Dan Masmuni menegaskan, janganlah meragukan Martawi yang terus bercermin di balik takdir itu. Martawi sedemikian itu adalah Madura asli. Jangan kehormatan dan kebang-gaan ini seakan hilang darinya, hanya karena cintanya yang tak kesampaian, semata-mata karena ikatan tradisi yang memisahkannya. Jangan sampai puisi diam karena pergulatan itu, seakan puisi sudah terkubur, jika ada masalah di balik pergulatan itu:
Aku benar bernama Martawi
Berasam garam Madura asli
Lamar aku, kalau mau
Kau takkan tahan penen ribuan mimpi
Setiap geretak gigi Bermula dari caramu kubur puisi.
***
Masmuni memang tidak mau diam terhadap tradisinya. la mencintainya, mengetengahkan kelebihan dan kekuatannya. Tapi ia juga mengritisinya, dan melawannya. Demi nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh tradisi itu.
Kemana pun, ia ingin mengembara dengan puisinya, pergi menjauh dengan imaginasi liar keindahannya, ia tetap ditarik pulang, untuk tak lupa berpijak pada tradisi. Dan salah satu tradisi kokoh tanah Madura adalah tradisi religiusnya, tradisi agama Islamnya. Ini terlihat dari begitu banyaknya bertaburnya pesantren di sana. Adalah sebuah ungkapan di Madura: ta’tao batona langgar. Di dalamnya tersimpan pesan, siapa yang belum pernah menyapa langgar, ia pun terjauh dari tatakrama dan kesopanan.
Memang bagi orang Madura, langgar, pesantren dan mengaji adalah tempat pembentukan dan pendidikan pribadi. Masmuni sendiri adalah anak pesantren. Tak heran, spirit pesantren itu sangat muncul dalam puisinya. Puisinya memperlihatkan, dengan hidup religius dan agamalah orang Madura bisa dan harus mengolah budaya dan tindak tanduknya. Di sanalah, kekasaran diasah menjadi kehalusan, dan kemarahan dijinakkan menjadi kelemahlembutan. Maka ketika Martawi tergoda untuk bertindak keras, ia pun diingatkan akan doa, dan ayatlah yang bisa membuat ia tak hendak mengasah celuritnya:
Terampil kau kekarkan ayat
Tak lagi asah rajah celurit.
Masmuni menggambarkan, dilanda rindu dan kecamuk dendam bercampur birahi, Martawi ternyata selalu ingat untuk beriktikaf, bermenung diam di langgar sunyi untuk mende-katkan diri pada Allah yang maha suci:
Martawi iktikaf lagi. la tumbuk serpihan ayat-ayat suci, diperah di tangan ilahi. la tumis daun keladi berbumbu hati. la goreng telur mata sapi bergaram iman sendiri. la tunjukkan Martawi yang asli; tangan baja, urat besi, dahi kembang melati.
Tampak jelas, Masmuni sungguh seorang santri yang menggulatkan hidup dan pikirannya dengan puisi. Apa pun puisinya, kesantriannya selalu melekat padanya. Ia boleh mempertualangkan apa saja, juga petualangan dirinya dalam cinta, seperti tampak pada imaginasinya tentang Martawi, tapi serentak dengan itu, ia tetap ingin menjadi santri yang bersih, santri annuqayah sejati:
Akulah santri Annuqayah
Tidur berbantal dzikir-dzikir bertuah
Memanggul malam dengan pikir menyejarah
Ketika sore tiba di pelupuk mata
Sarung-sarung kami rapikan penuh cinta
Tatkala aroma subuh hadir menggoda
Baju-baju kupasangi kancing-kancing purba
Di hati di jiwa
Menyulam diri mesti sadar cahaya.
***











