Sindhunata
Stigma keras sering disematkan pada orang-orang Madura dan budayanya. Pulaunya ikut-ikut distigma sebagai pulau yang tanahnya kering, dan kurang subur. Orang-orangnya garang. Sering dibayangkan lelakinya berkumis lebat, berwajah seram, apalagi bila mereka mengenakan pakaiannya yang khas, kaos bergaris-garis merah, celana komprang, baju terbuka, berwarna hitam. Belum lagi, bila membayangkan mereka menyangklong arit, ini begitu saja mengingatkan orang akan budaya mereka, budaya carok yang menakutkan.
Stigma demikian jelas keliru. Dan harus dilawan. Karena sangat tidak berdasarkan kenyataan. Banyak orang Madura yang ramah. Sehari-hari mereka juga berpakaian seperti umumnya orang. Kaum lelakinya juga tidak mau merepotkan diri dengan kumis yang lebat. Tanahnya pun tak sekering seperti dibayangkan. Andaikan ada tanah yang kering di sana, di lain tempat, termasuk di pulau Jawa, juga ada tanah yang serupa.
Dan carok pun bukan praktik atau kejadian yang lumrah. Banyak analisis-analisis budaya sudah mengoreksi anggapan yang keliru terhadap carok. Diperlihatkan, carok sebenarnya lebih terkait dengan budaya harga diri. Untuk membelanya, orang Madura memang, kalau perlu, berani mempertaruhkan nyawa. Itu pun tidak dilakukan dengan semena-mena. Malah pembelaan diri disertai dengan ritualan, untuk merasakan, bahwa harga diri sungguh suatu nilai manusia yang tak boleh dilecehkan.
Maka jangan begitu saja mengaitkan carok dengan arit yang menakutkan, atau perkelahian massal dengan senjata tajam. Carok adalah seberkas ekspresi dari apa yang lebih dalam: pembelaan terhadap pelecehan martabat dan kehormatan harga diri pribadi manusia.
***
Madura perlu dibela. Dibebaskan pula dari stigma-stigmanya. Bisa dengan analisis sosial-budaya. Bisa dengan pendekatan ekonomi dan politik. Dan tentu saja, sangatlah bisa dengan sastra dan bersastra. Membela Madura dengan sastra, itulah yang telah dikerjakan oleh sastrawan-sastrawan Madura. Dan kali ini pembelaan sastrawi itu boleh kita nikmati lewat puisi-puisi Masmuni Mahatma berjudul “Debur Rasa” ini.
Masmuni Mahatma, asli Madura. Ia lahir di Sumenep (1976). Waktu belajar dan hidup di Pondok Guluk-Guluk, Sumenep, ia sudah aktif di dunia sastra. la pernah menjadi ketua Sanggar Andalas yang ada di pondok itu. Selanjutnya, ia banyak menulis puisi. Antologi puisinya antara lain “Indonesia Terapung” (1999), dan “Langit Bergincu Getah Merah” (2022). Puisinya “Sajak untuk Marlena” masuk dalam 35 Puisi Pilihan Fesitval Sastra Bengkulu (2019).
Hampir semua sajaknya dalam kumpulan puisi “Debur Rasa” berkenaan dengan Madura. Tampak dalam kumpulan puisinya tersebut, Masmuni, anak Madura asli itu, benar-benar ingin menampilkan Madura dengan bahasa dan jalan sastra. Berpuisi tentang Madura adalah jalan yang dipilih oleh Masmuni untuk membebaskan tanah kelahirannya dari pelbagai macam stigma yang dideritanya. Di tanah Madura masih banyak tersimpan rahasia, yang tak diketahui orang. Hanya rasa puisilah yang bisa merasakannya:
Sembari kupanggul sajak kemarau
Di antara puluhan surau
Kueja jejak Maduraku yang pernah memukau
Perlahan aku tersipu Kau tetap gagah dalam bisu Maduraku Madura siapa
Sedemikian banyak kau kubur rahasia
Masmuni tak menyembunyikan, bahwa Madura juga tanah yang garang. Kegarangannya seperti pribadi Sakera, yang umum dikenal orang. Tapi lewat sajaknya, ia juga mengingatkan, kegarangan itu adalah buah perlawanan terhadap kekerasan hidup, yang dialami orang Madura. Dan orang Madura sendiri tak mau menyerah pada kegarangan itu. Mereka juga bergulat dengannya, demi kelembutan. Apa yang mereka lakukan persis dengan manusia yang berpuasa, bersengketa dan bergulat dengan dirinya di bulan Ramadhan. Itulah yang dilukiskan Masmuni dalam puisinya ini:
Kaulah Madura
Roda giling ruh dan sengketa rasa
Dalam lirik kidung-kidung tersisa
Kutemukan jejak api Sakera
Yang tak pucat ditindih lelehan baja.
Madura, kupeluk kau akhir Ramadhan
Di hadapan Tuhan
Mari terus berdandan.
***
Kumpulan puisi Masmuni “Debur Rasa” terdiri dari tiga bagian. Masmuni menyebutnya “tiga lampiran”. Mungkin maksudnya, bukan sekadar bagian-bagian yang berurutan. Tapi babak-babak yang saling melampirkan. Memang, puisinya di lampiran pertama akan makin bisa dirasakan, jika kita juga melampirkan diri pada lampiran puisinya yang kedua atau ketiga.
Tapi tampaknya lampiran pertama dan ketiga puisinya adalah bagian yang penting dan pokok dalam karya Masmuni “Debur Rasa” itu. Dalam bagian pertama itu ia mengetengahkan sosok bernama Martawi. Pada bagian ketiga, ia banyak berpuisi tentang Sudiha.
Dalam diri Martawi ini, kiranya terbaca Masmuni ingin menumpahkan perasaannya tentang tradisi Madura yang disebut mabekalan, yakni mempertunangkan anak lelaki dan perempuan sedari kecil.
Sebagai orang Madura, Masmuni tentu ingin menghormati tradisi itu. Betapa pun terlihat tradisi itu sudah ketinggalan zaman, toh di dalam tradisi itu ada suatu nilai positif. Yakni, menyambungkan kehidupan harmonis antara kedua orang tua ke dalam diri anak-anaknya. Jangan sampai keharmonisan dan persaudaraan itu teretak atau terpecah. Jika terpecah, akan hilang pula pegangan dan pandangan hidup orang Madura, yang tersimpan dalam pepatahnya: kenca area palotan, teman adalah saudara.
Namun tampak pula bahwa Masmuni tidak begitu saja menerima dan membenarkan tradisi itu. la juga terlihat kritis terhadapnya. Jelas dalam puisi-puisinya tampak, bahwa manusia tak bisa dipastikan sejak kecil. Arah hidupnya bisa berubah, menyimpang dari idamannya di masa kecil. Apalagi bila ia sudah berkontak dengan dunia luar, dan perjumpaan-perjumpaan baru.
Masmuni juga mempersoalkan, tradisi itu juga tidak bisa terus menjamin keharmonisan. Bisa terjadi, tradisi ini malah meledakkan kecemburuan. Tentu biasanya di antara para lelaki. Karena bisa saja, dalam perjalanan, ada lelaki, pihak ketiga, yang mencintai perempuan yang sudah dijodohkan, tapi tak mempunyai kemungkinan untuk memilikinya. la bisa cemburu. Dan bisa cemburu pula lelaki yang merasa dia sebagai yang paling berhak untuk memiliki si perempuan, karena ia sudah dijodohkan sedari dulu. Jika tidak bisa dikelola dengan baik, perasaan-perasaan ini bisa merambat menjadi persoalan harga diri, yang bisa meledak dalam kekerasan, yang ekspresinya adalah carok.
Puisi-puisi Masmuni menggulati fakta-fakta di atas. Dalam diri Martawi, kita bisa melihat, fakta itu tak bisa dinilai dari hitam dan putihnya saja. Puisi memang tak bisa memberi solusi dan penyelesaian. Masmuni pun jauh dari maksud tersebut. Puisi-puisinya tidak mengajak kita untuk menilai benar dan tidaknya. Tapi mengajak kita berefleksi, dan mau masuk ke dalam diri seorang Martawi.