Lontar Madura

  • Home
  • Gapura
    • * Merawat Madura
    • Sejarah Madura
    • Budaya Madura
  • Lokalitas
    • Tradisi Madura
    • Sastra Madura
  • Ragam
    • Wisata Madura
    • Tokoh Madura
    • Peristiwa Madura
  • Folklore
    • Legenda Madura
    • Permainan Anak Madura
  • Info
    • Penginapan di Madura
    • Jarak Kota Jawa Timur
    • Jarak Jawa-Bali
    • Dukung Domasi
  • Arah
    • About Us
    • Privacy Policy
    • Disclaimers for Lontar Madura
    • Daftar Isi
    • Sitemap
  • Kontak
    • Forum Madura
    • Kirim Artikel
    • Komentar dan Saran Anda
  • Hantaran
    • Dengarkan, Lagu-Lagu Madura
    • Marlena
    • Mutiara yang Terserak
  • Unduhan
    • Tembhang Macapat
    • Materi Bahasa Madura
    • Madurese Folktales
  • Telusur
    • Peta Lokasi Lontar Madura
    • Penelusuran Praktis
  • Kanal
    • Madura Aktual
    • Lilik Soebari
    • Perempuan Laut
    • Babad Madura

Dilema Seni Tradisi Dalam Kultur Media

▲ Menuju 🏛 Home ► Tradisi Madura ► Dilema Seni Tradisi Dalam Kultur Media ► Page 3

Ditayangkan: 13-12-2010 | dibaca : 8,010 views
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Demi kepentingan jangka panjang, kapitalisme ini bisa mengakomodir tuntutan serikat pekerja dan daya kreatif-kritis konsumen untuk mengintegrasikan banyak unsur sosialisme kedalam dirinya. Kinerjanya pun memakai prinsip desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap lagi menghadapi perubahan yang cepat. Jadi, ini sejenis kapitalisme “baru” yang tidak menawarkan keseragaman gaya atau citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.Maka, jika ada kasus : Pengusaha A menanggap wayang kulit,Pengusaha B nanggap ketoprak, sedang Konglomerat C nanggap Campursari; tindakan mereka tak bisa dijadikan indikator kalau mereka mendukung eksistensi dan estetika seni tradisi secara menyeluruh.

Bisa saja,tindakan mereka itu terutama demi gengsi, prestise, atau demi image tertentu. Agak dekat dengan kasus ini, ada Ki Manteb yang menawarkan produk obat sakit kepala merk tertentu, dengan tata kostum dan “suluk” yang jelas mengikuti “pesan sponsor”. Lalu, ada rombongan kuda lumping menawarkan puyer, ada fragmen ketoprak lakon Roro Jonggrang menawarkan obat kuat, dst, dst.

Tampilan insidentil yang dilakukan oleh bentuk-bentuk kesenian tersebut telah melegitimasi diri untuk menunjukkan eksistensi di balik satu kekuatan politik-ekonomi tertentu, terkadang tanpa idealisme yang jelas.

Barangkali benar pendapat George Herbert Mead (baca: Nuansa Komunikasi, 1999) bahwa kehidupan manusia senantiasa dapat dipengaruhi oleh interaksi simbolis. Dalam berinteraksi, manusia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain untuk kepentingan finansial atau politiknya. Disini, seni tradisi dapat menjadi bahasa simbolis yang canggih untuk memprovokasi massa agar membeli, mencoba atau ikut.

* * *

Sampai pada tataran apresiasi, jika muncul tudingan bernada minor mengkritik; panitia penyelenggara, produser sinetron, programer stasiun penyiaran dan biro iklan selalu berkelit: “Itulah selera pasar! Begitulah realitas rating!” Artinya, seolah-olah masyarakat memang welcome atau menyukai tayangan tadi.

Maka, hubungan simbiotik antara broadcasting dan advertising seperti diteliti oleh pakar komunikasi Amerika, Blumenthal & Goodenough (Republika, 9/4/2001) terus berlangsung. Yaitu hubungan yang melibatkan ambisi keduanya untuk meraup duit (atau dukungan politik) dengan menghalalkan produk tontonan dan acara (termasuk iklan-iklannya) yang secara simbolis bisa saja tidak mendidik, menyesatkan atau membodohi pemirsa.Tapi, kita terlanjur hidup di alam simbolis.

Dalam bahasa Gustav Jung (Kompas 9/4/2000), kita biasa menggunakan terminologi simbolis untuk merepresentasikan konsep yang tidak sepenuhnya kita kuasai. Pada dataran simbolis itulah , dunia komunikasi sehari-hari memanipulasi image. Dan simbol pun menjadi “bahasa kepercayaan”. Selama itulah, pergulatan nilai-nilai lokal dan global, lama dan baru, tradisi dan modern terus berlangsung.Studi-studi kebudayaan mutakhir terhadap masalah seperti ini semestinya kian transparan, seperti diadvokasi oleh Raymond William (2000), agar bisa menggiring masyarakat untuk punya sikap kritis terhadap semua gejala aktual. Sebab, pada akhirnya, masyarakat sendiri yang akan memilih dan menentukan: “Seni tradisi lebih cocok bagi kami.”

Yogyakarta, 5 Oktober 2001.

*Penulis adalah Sastrawan Angkatan 2000 dan Ketua Komite Sastra pada Dewan Kesenian Dati II. Punya e-mail: esantira@kompascyber.com dan esantira@yahoo.com

Pages: 1 2 3

Dibawah layak dibaca

Tinggalkan Komentar Anda

Click here to cancel reply.

Kembali ke Atas

  •  

RSS_lontarmadura.com  

kosong
Lontar Madura
Madura Aktual
Lilik Soebari
Babad Madura Line
  • ▶ ᴅᴇɴɢᴀʀᴋᴀɴ

    https://www.maduraexpose.com/wp-content/uploads/2010/lm/lagu_madura.mp3
  • ᴘᴏsᴛɪɴɢ ᴘɪʟɪʜᴀɴ

    • Kedatangan Orang Madura di Kebun Karet Orang Dayak.
      📚 Budaya Madura
    • Strategi Politik Arya Wiraraja
      📚 Sejarah Madura
    • Mendambakan Sumenep Berbudaya
      📚 Budaya Madura
    • puteri masalembuPutri Nelayan Masalembu, Pembawa Tumpeng Rokat
      📚 Tradisi Madura
    • pendopo-agungSumenep Setelah Pemerintahan Yudonegoro
      📚 Sejarah Madura

ALBUM LAGU MADURA

 
http://bahasa.madura.web.id/utama.php

Beralih Versi Mobile


© All Rights Reserved. Lontar Madura
Tim Pengelola | Privacy Policy | Disclaimers

Close