Kiai Agung Batu Ampar: Ulama yang Mendirikan Dinasti di Tanah Doa

Pasarean Kiai Agung Batu Ampar

Kisah Kiai Agung Batu Ampar atau Kiai Abdullah, ulama besar dari Guluk-Guluk, Sumenep. Dari tanah batu yang tandus, ia menumbuhkan kebajikan dan keturunan yang kelak menjadi penguasa terakhir di Keraton Sumenep. Sebuah legenda tentang ilmu, kesabaran, dan cinta yang menyejukkan Madura.

*****

Pagi di Desa Batuampar selalu datang dengan cahaya lembut yang menyelinap di antara pepohonan siwalan dan pandan berduri. Angin membawa bau asin dari laut utara dan debu halus dari tanah kapur. Di tengah lanskap yang keras itu, berdiri sebuah kompleks tua yang tenang: Pasarean Kiai Agung Batu Ampar. Di dalamnya, makam-makam batu putih berjajar rapi di bawah naungan pohon trembesi besar. Seorang santri muda menyapu halaman sambil melantunkan shalawat nabi pelan—suara yang seakan menjembatani masa lalu dan masa kini.

Orang-orang di Madura mengenalnya dengan berbagai sebutan: Kiai Abdullah Batuampar, Entol Bungso, atau Kiai Agung. Namun di balik semua nama itu, ada satu sosok yang sama—seorang ulama, tabib, dan leluhur yang meninggalkan jejak dalam sejarah keagamaan dan politik Madura Timur. Dari Batuampar inilah mengalir darah dan nilai yang kelak membentuk Dinasti Keraton Sumenep.

Tanah Batu dan Hijrah Sang Ulama

Batuampar, sesuai namanya, dulunya hanyalah tanah berbatu di antara perbukitan Guluk-Guluk. Pada abad ke-17, wilayah ini jarang dihuni, sebab tanahnya keras dan airnya sulit. Namun justru di tanah seperti inilah, menurut hikayat, Kiai Abdullah diperintah oleh gurunya untuk menetap dan berdakwah. Ia datang dari daerah Raba (kini wilayah Pamekasan), setelah menimba ilmu agama dan tasawuf dari para ulama besar Jawa Timur.

Perjalanan itu tidak mudah. Ia berjalan kaki selama berhari-hari melewati ladang-ladang garam dan hutan kering. Ketika tiba di tempat yang disebut bato ngampar—hamparan batu putih yang gersang—ia berhenti dan berkata, “Di sinilah aku akan menanam kehidupan.”

Ungkapan itu menjadi nubuat. Sebab di tanah yang bahkan rumput enggan tumbuh, beliau menanam nilai, mengalirkan ilmu, dan membangun kehidupan baru. Orang-orang yang sebelumnya enggan tinggal di wilayah itu perlahan berdatangan. Mereka belajar bertani, menggembala, dan kemudian mengaji di surau kecil yang ia dirikan dari bambu dan daun siwalan.

Seorang Tabib dan Guru Rakyat

Kiai Abdullah dikenal bukan hanya sebagai pengajar agama, tapi juga tabib penyembuh. Dalam tradisi Madura, ulama sering menjadi rujukan utama dalam segala hal—dari penyakit, pernikahan, hingga perdamaian. Di Batuampar, masyarakat menyebutnya “Kiai penyembuh”. Ia menggunakan ramuan daun hutan dan air sumur yang ia gali sendiri untuk mengobati orang-orang yang datang dari jauh.

Kisah paling sering diceritakan adalah tentang seorang anak dari Desa Ambunten yang lumpuh sejak lahir. Orang tuanya menggendongnya ke Batuampar dengan harapan mendapat pertolongan. Setelah didoakan dan dimandikan di sumur di dekat langgar, anak itu perlahan bisa berjalan. Sejak saat itu, sumur itu disebut Sumur Barokah dan masih dikunjungi hingga kini.

Namun, Kiai Abdullah selalu menolak disebut memiliki kesaktian. Ia berkata:

“Yang menyembuhkan adalah Allah. Aku hanya menuntun air dan doa agar sampai pada mereka yang membutuhkan.”

Kalimat sederhana itu menjadi ajaran yang diwariskan turun-temurun. Bahwa ilmu tanpa kasih adalah kering, dan doa tanpa pelayanan adalah hampa.

Selain mengobati, beliau juga menanamkan nilai kerja dan kebersamaan. Ia mengajarkan masyarakat membuat irigasi sederhana dengan menata batu dan bambu untuk menampung air hujan. Dari situ muncul sawah-sawah kecil di tengah tanah kapur—keajaiban kecil yang nyata. “Batuampar dulu keras, tapi hati Kiai Abdullah lebih keras,” ujar seorang sesepuh desa sambil tersenyum. “Karena itu tanah ini bisa hidup.”

Dari Langgar Bambu ke Dinasti Keraton

Kehidupan spiritual di Batuampar tumbuh subur. Setiap malam, langgar kecil itu dipenuhi cahaya lampu minyak. Santri-santri belajar mengaji dan menghafal nadham alala, ditemani suara jangkrik dan desir angin. Di sela pengajian, Kiai Abdullah menuturkan kisah-kisah tentang kesabaran para nabi, tentang pentingnya ta’dhim pada guru, dan tentang bagaimana hidup harus berakar di tanah tapi berbuah di langit.

Dari keteduhan ajarannya lahir murid-murid yang kelak menjadi tokoh penting. Salah satu yang paling dikenal adalah putranya sendiri: Bindara Saot, yang kemudian dikenal sebagai Kanjeng Raden Tumenggung Tirtanegoro, Adipati Sumenep pada 1750–1762. Dari garis keturunannya inilah muncul penguasa-penguasa Keraton Sumenep berikutnya, hingga masa Bindara Pakunatan II, penguasa terakhir sebelum sistem kerajaan dihapuskan pada abad ke-20.

Dengan demikian, Batuampar bukan sekadar desa ulama, melainkan akar dinasti yang menghubungkan agama, kekuasaan, dan kebudayaan. Sebuah perpaduan khas Madura di mana garis kiai dan raja sering bertemu, bukan karena ambisi, tapi karena kehendak untuk menjaga keseimbangan masyarakat.

Kiai Abdullah sendiri, dalam banyak catatan lisan, tak pernah menunjukkan keinginan berkuasa. Ia hidup sederhana, berpakaian kain kasar, dan tidur di tikar pandan. Namun kebijaksanaannya membuat banyak bangsawan datang menimba ilmu atau meminta petuah. Salah satu kisah menyebutkan, seorang bangsawan muda dari keraton datang untuk belajar mengendalikan amarah. Kiai Abdullah hanya memberinya segelas air dan berkata, “Lihatlah air, ia tak melawan batu, tapi batu pun tak bisa menghentikan alirnya.” Pesan itu menjadi pedoman kepemimpinan bagi banyak penerus Sumenep.

Batuampar: Tanah Doa dan Perjumpaan

Kini, Pasarean Batuampar berdiri di atas bukit kecil, menghadap ke barat. Kompleks makam itu rapi, dengan pintu kayu ukir yang selalu terbuka bagi siapa saja. Di dalamnya, selain makam Kiai Abdullah, terdapat pula makam putra-putri dan murid-muridnya. Setiap hari, terutama menjelang malam Jumat, peziarah berdatangan membawa bunga, air, dan doa. Suara lantunan yasin bercampur dengan desir angin dari ladang kapur—suara yang terasa sakral sekaligus akrab.

Desa Batuampar sendiri kini dikenal sebagai kawasan santri. Banyak pesantren berdiri di sekitarnya, beberapa bahkan masih mengaku memiliki garis keilmuan dari ajaran Kiai Abdullah. Salah satu di antaranya, Pesantren Al-Ma’arif Batuampar, tiap tahun menggelar Haul Kiai Agung yang dihadiri ribuan orang. Di sana, tak hanya dibacakan doa, tapi juga diceritakan kembali kisah perjuangan beliau sebagai sarana pendidikan moral bagi generasi muda.

Masyarakat percaya, ziarah ke pasarean bukan sekadar ritual spiritual, tapi juga pengingat bahwa tanah ini dibangun dari doa. Karena itu, mereka menyebut Batuampar sebagai “tanah doa”—tempat di mana kehidupan dan kematian berdialog dalam keheningan.

Di Antara Legenda dan Kenangan

Seperti banyak tokoh besar lainnya, kisah Kiai Abdullah diselimuti legenda. Ada cerita bahwa ketika beliau wafat, bumi bergetar dan batu-batu di sekitar makam bergeser sendiri membentuk hamparan datar. Ada pula kisah bahwa setiap kali musim kemarau panjang, hujan turun di Batuampar setelah doa tahlilan di pasarean beliau. Masyarakat tidak memandang kisah itu sebagai takhayul, melainkan sebagai bentuk cinta kepada leluhur yang mereka yakini dekat dengan Tuhan.

Namun di balik cerita mistik itu, ada nilai sosial yang dalam. Batuampar menjadi simbol bagaimana ilmu agama bisa menumbuhkan kehidupan bahkan di tempat paling keras sekalipun. Dari batu yang diam, lahirlah budaya, pendidikan, dan pemerintahan. Seperti kata pepatah Madura: “Dari tanah kering lahir hati yang basah.”

Jejak di Tengah Zaman

Ketika zaman berubah, dan generasi baru tumbuh dengan ponsel di tangan, kisah Kiai Agung Batu Ampar tetap hidup di ingatan masyarakat. Ia tak hanya disebut di langgar dan pesantren, tapi juga dalam peribahasa dan nyanyian rakyat. Dalam lagu-lagu saronen di pesta panen, nama beliau kerap disebut sebagai lambang keberkahan.

Setiap peziarah yang datang membawa cerita baru. Ada yang datang karena nazar, ada yang sekadar ingin menenangkan diri. “Kalau saya gelisah, saya duduk di depan asta beliau,” kata seorang pemuda Batuampar. “Tidak ada suara, tapi hati saya selalu tenang.”

Ketika malam turun, kompleks asta diterangi lampu-lampu kecil. Di antara nisan yang dingin, suara dzikir mengalun panjang. Di tempat seperti itu, waktu seolah berhenti. Batu, angin, dan doa berpadu menjadi satu kesunyian yang suci. Orang-orang percaya, di situlah Kiai Abdullah masih “hidup”—menjaga, menuntun, dan memberi keteduhan bagi siapa pun yang datang dengan hati bersih.

Warisan yang Tak Pernah Padam

Warisan Kiai Agung Batu Ampar bukan sekadar keturunan bangsawan, tetapi nilai-nilai yang menembus batas zaman: kesederhanaan, kasih kepada sesama, dan keyakinan bahwa pengetahuan harus berakar pada cinta. Nilai-nilai itu masih diajarkan di banyak pesantren Madura hingga kini. Para kiai di Sumenep sering mengutip pesan beliau:

“Orang alim bukan yang banyak tahu, tapi yang tahu kapan harus diam dan kapan harus menolong.”

Pesan itu sederhana tapi dalam. Dalam masyarakat Madura, yang keras namun penuh solidaritas, ajaran seperti ini menjadi pondasi moral. Ia menyeimbangkan keberanian dengan kelembutan, dan mengajarkan bahwa kemuliaan bukan karena kekuasaan, melainkan karena kemampuan memberi manfaat.

Kini, Batuampar tak lagi sunyi. Jalan menuju pasarean ramai oleh penziarah, pedagang bunga, dan anak-anak yang bermain di halaman masjid tua. Namun di balik keramaian itu, ada ketenangan yang sama seperti ratusan tahun lalu—ketenangan dari tanah yang pernah didoakan dengan air mata seorang ulama besar.

Di bawah langit Madura yang biru pucat, suara adzan magrib terdengar dari menara kecil di sisi barat pasarean. Orang-orang bergegas menuju masjid, melewati nisan-nisan putih yang tertata rapi. Di antara mereka, seolah ada bayangan seorang lelaki berjubah kasar, menatap dengan lembut, dan berbisik dalam bahasa yang hanya bisa didengar hati:
“Teruslah menanam kebaikan, meski di tanah batu sekalipun.”

Kiai Agung Batu Ampar adalah wajah sejati ulama Madura: tenang, bekerja dalam diam, tapi meninggalkan getar yang panjang. Ia menanam kehidupan di tanah keras, menumbuhkan peradaban dari batu, dan mengubah doa menjadi kekuatan sosial. Dari beliau lahir bukan hanya generasi pemimpin, tetapi juga nilai-nilai yang membentuk jiwa Madura—berani, sabar, dan setia pada Tuhan.

Dan setiap kali angin bertiup dari bukit Batuampar, masyarakat tahu: doa itu masih hidup.

(Lontar  Madura, dirangkum dari beberapa sumber)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.