Jokotote diasuh dan dibesarkan oleh Empu Kelleng. Empu Kelleng bekerja sebagai pandai besi, membuat keris, pisau, dan alat-alat pertanian. Setiap Empu Kelleng hendak pergi bekerja, Jokotole selalu ingin ikut. Namun, Empu kelleng dan Nyai Empu selalu melarangnya. Dia sangat disayangi dan dicintai oleh keduanya, serta dididik dengan akhlak yang baik. Tapi akhirnya, keinginannya pun dikabulkan oleng sang bapak, dia boleh ikut.
Melihat sang bapak bekerja keras, Jokotole ingin sekali membantu. Namun, sang bapak melarang dengan alasan takut terkena api. Ketika bapak angkat dan para pekerja beristirahat, Jokotole menyulut api dan membuat alat-alat dari besi, seperti: arit, beliung, dan linggis.
Hasil dan bentuknya pun lebih bagus dari buatan Empu Kelleng. Jokotole menggunakan lutut sebagai alas, tangan sebagai palu, dan jari-jari sebagai jepit serta kikir. Karena, semua peralatan bekerja disimpan oleh sang bapak. Selesai beristirahat, bapak angkat dan pekerja lainnya merasa heran dengan perkakas yang sudah selesai itu. Namun, tidak tahu bahwa hal itu adalah pekerjaan Jokotole.
Raja Majapahit, Prabu Brawijaya, hendak membangun pintu gerbang raksasa yang terbuat dari besi. Karenanya, seluruh pandai besi yang ada di Pulau Jawa dan Madura dipanggil ke Majapahit.
Empu Kelleng merasa sedih karena harus meninggalkan keluarganya. Pembuatan pintu besi tidak mungkin selesai dalam waktu satu atau dua tahun. apabila pembuatan pintu gerbang itu tidak diselesaikan tepat waktu, maka seluruh pandai besi akan dihukum, termasuk juga dirinya. Namun, ini adalah permintaan Baginda Raja Majapahit.
Bagaimanapun juga, dia harus berangkat. Sebelum berangkat, dia berpesan kepada Nyai Empu, istrinya, agar menyayangi, mendidik, dan menjaga Jokotole dengan baik. berpesan juga pada Jokotole, agar menjadi anak yang patuh dan sayang pada orang tua.
Sepeninggal bapaknya angkatnya, banyak yang meminta dibuatkan alat-alat pertanian. Jokotole bekerja sendiri tanpa dibantu oleh siapapun. Selain membuat alat pertanian, ia juga membuat keris dan tombak. Kemudian, keris buatannya dikenal dengan sebutan “Jennengan Kandhangan”.
Pembuatan gebang sudah berlangsung sangat lama, bahkan lebih dari satu tahun, namun tidak juga selesai. Banyak pandai besi yang sakit dan meninggal. Akhirnya, Nyai Empu mendengar kabar bahwa Empu Kelleng sakit. Ia pun memanggil Jokotole.
“Jokotole putraku,” katanya. “Ibu mendengar bahwa bapakmu sedang sakit. Susullah bapakmu dan bantulah agar pekerjaannya cepat selesai.”
Jokotole sangat menyayangi Empu kelleng dan Nyai Empu. Segera ia berpamitan dan meminta doa restu agar selamat sampai ke tempat tujuan.
Di tengah perjalanan, tepatnya di tengah hutan, ia bertemu dengan seorang laki-laki tampan yang sedang bertapa di ujung gelagah. Dipanggillah Jokotole oleh lelaki itu. Ketika Jokotole mendatanginya, dia memperkenalkan diri sebagai Adirasa, Paman dari Jokotole, saudara kandung dari ayahnya. Adirasa pun menceritakan semua kejadian dari awal sampai akhir sehingga terjalin hubungan kekeluargaan. Nasehat-nasehat yang baik pun disampaikannya.
“Jokotole, keponakanku,” kata Adirasa. “Hendaklah engkau patuh dan hormat kepada kedua orang tua angkatmu itu. Dengan susah payah mereka merawatmu hingga besar. Mendidikmu dengan baik. balaslah kebaikan mereka dengan kebaikan yang lebih besar, meskipun mereka tidak mengharapkannya.”
Adirasa memberi Bunga Melati kepada Jokotole dan menyuruh untuk memakannya. Bunga Melati itu nantinya akan menjadi alat pelekat. Dapat membantu bapak angkatnya menyelesaikan pembuatan pintu gerbang. Karena, untuk menyelesaikan pintu gerbang, diperlukan alat pelekat.
Alat pelekat itu akan ke luar dari pusar Jokotole, ketika ia dibakar sampai hangus. Setelah alat pelekat itu diambil, ia harus segera disiram supaya hidup kembali. Adirasa, pamannya, juga memberi tahu bahwa ia memiliki saudara kandung. Namanya adalah Agus Wedi.
Pamannya pun memberi tahu di mana saudara kandungnya berada. Akhirnya, jokotole bertemu dengan adiknya, Agus Wedi. Ia pun mengajak sang adik untuk pergi bersamanya ke majapahit.
Berjalanlah mereka ke arah barat daya hingga sampai ke pantai yang pasirnya putih. Di sana, mereka bertemu dengan juragan perahu dari Gresik. Namun, sang juragan menolak untuk memberi tumpangan. Setelah sang juragan menarik jangkar dan mengembangkan layar, perahunya tak kunjung berjalan, malah semakin ke pinggir. Akhirnya, sang juragan menyadari dan mengajak mereka. Perahu pun berjalan dengan cepat hingga sampai di pesisir Gresik.
Tiba di Gresik, keduanya dihadang oleh pengawal-pengawal istana dan Patih Kerajaan Gresik. Mereka sengaja diperintah oleh Raja Gresik untuk mencari dua orang pemuda. Perintah raja ini berdasarkan suara yang ia dengar pada suatu malam. Suara itu mengatakan bahwa akan ada dua orang pemuda, kakak beradik yang raut mukanya sangat tampan. Dikatakan pula, ia harus mengambil dan merawat keduanya dengan baik.
Jokotole dan Agus Wedi dibawa untuk menghadap baginda raja. Sang raja pun mengutarakan maksudnya, menjadikan mereka anak angkat dan yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Jokotole menolak dengan sopan karena harus menyusul sang bapak ke Majapahit. Sedangkan adiknya, Agus Wedi, akan menetap di Gresik, menjadi anak angkat Raja Gresik. Akhirnya, Jokotole meninggalkan adiknya dan melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Ia berjalan menuju arah barat daya, mengikuti jalan raya yang menuju Majapahit.
Lain halnya dengan Jokotole, Agus Wedi diangkat menjadi Sesepuh Punakawan Kerajaan Gresik. Setelah menginjak dewasa, ia diangkat menjadi sesepuh “gambu”. Ia sangat rajin dan pandai. Bertanggung jawab dan jujur dalam bekerja. Semua orang sangat menyukainya bahkan baginda raja pun sangat menyayanginya.
Sementara itu, Jokotole yang dalam perjalanannya menuju Majapahit, telah sampai ke Kota Majapahit. Ia pun menuju alun-alaun. Di tempat itulah, semua pandai besi bekerja. Berdasarkan petunjuk dari pandai besi lainnya, Jokotole menemukan bapak angkatnya. Empu Kelleng terkejut melihat anak angkatnya datang sendirian. Jokotole pun merasa prihatin dengan keadaan bapak angkatnya yang semakin kurus, hitam, dan penuh kudis.
Jokotole meminta sang bapak untuk pulang, ia yang akan bekerja menggantikannya. Namun, usahanya tidak berhasil. Empu Kelleng tetap di Majapahit. Malah sebaliknya, Empu Kelleng meminta Jokotole untuk pulang. Hal ini dilakukan Empu Kelleng karena pekerjaan membuat gerbang semakin lama semakin sulit dan berat. Ia menyayangi dan ingin melindungi Jokotole.
Baginda Raja Majapahit, Prabu Brawijaya, mendengar laporan bahwa pembuatan gerbang raksasa belum juga selesai. Akhirnya, ia melihat langsung ke alun-alun. Saat itulah, Jokotole maju dengan berani. Ia menghadap baginda raja.
“Hamba berasal dari Negeri Sumenep. Nama hamba adalah Jokotole,” kata Jokotole sambil menyembah. “Hamba datang ke sini untuk menuyusul bapak hamba, Empu Kelleng. Dan hamba sanggup menyelesaikan pembuatan gerbang.”
Raja tercengang sekaligus senang mendengar kesanggupan Jokotole. Bila ia berhasil menyelesaikan pintu gerbang, maka akan mendapatkan hadiah berupa uang dan emas. Diamatinya Jokotole dengan seksama dan berpendapat bahwa Jokotole adalah anak seorang raja atau seorang pertapa.
Keesokan harinya, Jokotole, Empu Kelleng, dan seluruh pandai besi berangkat ke alun-alun. Mereka senang dengan adanya Jokotole. Jokotole mampu membangun semangat mereka. Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh. Pada saat bekerja itulah, Jokotole meminta agar dirinya dibakar.
“Bakarlah aku sampai menjadi arang,” pinta Jokotole. “Bila nanti dari pusarku ke luar cairan, segeralah ambil. Kemudian, siramlah aku dengan air.”
Apa yang diminta Jokotole dilakukan olehseluruh empu. Mereka percaya pada Jokotole. Karena selain pintar, dia adalah anak yang sopan dan jujur. Akhirnya, dari pusarnya ke luar cairan putih. Cairan itu pun diambil dan ia disiram dengan air. Saat itu pula, Jokotole hidup kembali. Bahkan wajahnya semakin tampan dan berseri-seri. Empu kelleng yang semula sedih dan khawatir menjadi senang karena mendengar anaknya hidup kembali. Didatanginya Jokotole. Ketika melihat sang anak, betapa gembira dan bangga hatinya.
Jokotole pun dapat menyelesaikan pintu gerbang. Kabar ini pun didengar oleh baginda raja. Betapa gembira hatinya dan ucapan terima kasih pun disampaikan.
Selanjutnya yang menjadi persoalan adalah pintu gerbang tidak dapat diangkat dan dipasang oleh empu-empu. Meskipun, baginda raja telah menambah pekerja sebanyak lima ribu orang. Baginda raja pun kembali meminta bantuan Jokotole. Jokotole memberikan jasa yang cukup besar dalam pembuatan pintu gerbang tetapi tidak menjadinkannya sombong, tetap rendah hati. sanjungan dan rasa kagum dari semua orang tidak membuatnya lupa diri.
Jokotole pun menengadahkan tangannya untuk berdoa kepada Tuhan. Ia juga meminta bantuan pamannya, Adirasa. Selesai berdoa, ia segera mengangkat pintu gebang itu. Pintu gerbang pun ditegakkan dengan mudah. Meskipun ia dibantu oleh pamannya, pamannya tidak dapat dilihat oleh semua orang sehingga Jokotole terlihat bekerja sendiri.
Baginda raja sangat senang hatinya, karena keinginannya terlaksana. Pintu gerbang dengan ukuran raksasa itu berdiri dengan sangat megah. Cita-cita baginda telah terlaksana berkat Jokotole. Seorang pemuda pintar, jujur, dan perkasa.
“Jokotole,” kata baginda raja. “Kusampaikan terima kasih atas bantuanmu. Sesuai janjiku, aku akan memberimu hadiah. Hadiah itu akan ditimbang sesuai dengan berat badanmu.”
Jokotole pun ditimbang dengan emas dan uang. Emas dan uang pun sudah mencapai lima pikul namun belum menyamai berat Jokotole. Bahkan, sampai sepuluh pikul pun tetap kurang. Akhirnya, baginda raja memerintahkan agar timbangan dihentikan. Baginda raja hanya memberi emas dan uang sebanyak sepuluh pikul. Jokotole bergembira dan bersyukur karena menerima hadiah itu. Hadiah yang didapatkannya, juga ia bagi kepada seluruh pandai besi. Betapa mulia hati Jokotole.
Setelah pembuatan pintu gerbang selesai, Empu kelleng beserta seluruh pandai besi pulang ke kampung halaman masing-masing. Namun, Jokotole tetap tinggal di Majapahit atas permintaan Prabu Brawijaya.
Sepeninggal bapak angkatnya, Jokotole membuat alat-alat tani, keris, dan tombak. Alat-alat buatannya disukai banyak orang. Keris dan tombaknya kemudian dikenal dengan sebutan “Jennengngan Majapahit”.
Baginda raja mempunyai seekor kuda yang bernama Sambrane. Pada suatu hari, kudanya lari ke alun-alun. Kuda itu menggigit semua orang yang mendekatinya. Banyak yang luka karena gigitannya. Hal ini membuat baginda raja resah. Karena, tidak ada yang bisa menangkap dan menjinakkannya. Akhirnya, dipanggillah Jokotole.