Legenda Asal-Usul Sampang, Madura

Sekedar ilustrasi

Kisah Nyi Roro Menges dan Pohon Sampangan

Di sebuah masa yang nyaris terlupakan, ketika Madura masih berupa hamparan hutan, rawa, dan pesisir sunyi, terdapat sebuah wilayah di tepian sungai besar yang belum bernama. Orang-orang zaman dahulu menyebut daerah itu Pamelingan, sebuah perkampungan kecil yang dikelilingi rimbun pepohonan dan sungai yang airnya mengalir jernih hingga bermuara ke laut selatan.

Masyarakatnya hidup sederhana. Mereka bertani dengan cangkul kayu, menangkap ikan dengan anyaman bambu, dan menggembala sapi di padang rumput yang luas. Mereka percaya pada keseimbangan alam — laut yang memberi rezeki, tanah yang menumbuhkan padi, dan langit yang menjaga musim. Namun, satu hal yang selalu mereka takutkan adalah badai dari selatan, yang datang tiba-tiba membawa angin kencang dan ombak setinggi kelapa.

Dan pada suatu malam yang gulita, badai semacam itu datang — badai yang kelak mengubah sejarah Pamelingan selamanya.

Kedatangan Perempuan Laut

Angin menderu, petir menyambar laut, dan ombak menggulung hingga ke bibir desa. Penduduk berlarian ke bukit, menyelamatkan diri. Pagi harinya, setelah badai reda, pantai mereka berantakan. Pohon kelapa tumbang, perahu nelayan terdampar, dan di antara serpihan kayu, mereka menemukan seorang perempuan terbaring di pasir.

Rambutnya hitam legam, panjang menjuntai seperti gulungan ombak. Kulitnya pucat bersinar lembut, dan di pergelangan tangannya tergantung gelang dari kulit kerang laut. Meski tubuhnya lemah, ia masih bernapas.

Seorang nelayan tua, Ki Rangga Bendi, mendekat dengan hati-hati.
“Siapakah engkau, wahai perempuan yang datang bersama badai?” tanyanya pelan.

Perempuan itu membuka mata perlahan. Suaranya lemah namun jernih, “Namaku Nyi Roro Menges. Aku datang dari jauh, dari negeri yang ditelan gelombang. Izinkan aku beristirahat di sini… sampai waktuku tiba.”

Tanpa berpikir panjang, warga menolongnya. Mereka merawatnya di rumah Ki Rangga Bendi. Perempuan itu cepat pulih, meski wajahnya menyimpan kesedihan yang dalam. Dalam waktu singkat, Nyi Roro Menges menjadi bagian dari masyarakat Pamelingan — tapi sekaligus tetap menjadi misteri.

Nyi Roro Menges: Sosok yang Menenangkan

Sejak kedatangannya, banyak hal berubah. Air sungai yang tadinya sering keruh menjadi jernih. Padi di sawah tumbuh lebih subur, bahkan di musim kemarau. Hewan ternak tak lagi mudah sakit. Penduduk percaya bahwa semua itu karena keberadaan Nyi Roro Menges.

Ia tidak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari bibirnya selalu lembut dan menentramkan. Anak-anak suka duduk di dekat rumahnya sambil mendengarkan kisah tentang laut dan bintang. Para perempuan datang kepadanya untuk meminta ramuan obat dari daun dan akar. Para nelayan sering menemuinya sebelum melaut, sekadar meminta doa agar angin bersahabat.

Ki Rangga Bendi sendiri menganggapnya seperti anak.
“Kau seperti anugerah bagi kampung ini, Nyi,” katanya suatu sore. “Entah siapa kau sebenarnya, tapi aku merasa Pamelingan ini dijaga.”

Nyi Roro Menges tersenyum tipis. “Aku hanyalah pengembara yang singgah di antara waktu, Ki Rangga. Tidak lebih dari bayangan ombak yang datang dan pergi.”

“Kalau begitu,” Ki Rangga tertawa kecil, “biarlah bayangan ombak ini menetap lebih lama. Karena sejak kau datang, laut kita jadi ramah.”

Namun Nyi Roro Menges hanya menatap jauh ke arah cakrawala, seolah ada sesuatu yang menunggunya di ujung sana.

Pertanda yang Aneh

Malam-malam di Pamelingan kini lebih tenang. Tapi sesekali, penduduk melihat cahaya biru lembut melayang di sekitar rumah Nyi Roro Menges. Kadang cahaya itu berbentuk pusaran, kadang seperti bayangan perempuan berjalan di atas air sungai.

Suatu malam, seorang pemuda bernama Leman yang lewat di dekat sungai mendengar suara lembut bersenandung dari arah rumah itu. Lagu tanpa kata, tapi terasa mengguncang hati.

Pagi harinya ia bercerita kepada Ki Rangga, “Aku mendengar nyanyian dari rumah Nyi Roro, Ki. Tapi suaranya… seperti dari tempat jauh, seperti datang dari dasar laut.”

Ki Rangga hanya tersenyum. “Biarkan saja, Nak. Tidak semua suara harus kau pahami.”

Desa menjadi makmur. Tapi di balik semua kedamaian itu, Nyi Roro Menges semakin sering termenung. Ia duduk di tepi bukit kecil di belakang desa, tempat ia biasa menyalakan dupa dan berdoa menghadap laut.

Suatu hari, ia memanggil Ki Rangga.

Pesan Terakhir

“Ki Rangga,” katanya dengan suara lembut namun tegas, “waktuku di dunia ini hampir habis. Aku sudah terlalu lama tinggal di daratan.”

Ki Rangga terkejut. “Apa maksudmu, Nyi? Kau sehat, dan semua warga menyayangimu.”

Nyi Roro Menges menatap pohon-pohon di sekeliling. “Aku datang karena badai, dan badai juga yang akan menjemputku. Tapi aku tak ingin kalian mengingatku dengan kesedihan. Jika kelak aku tiada, tanamlah sebuah pohon di tempat aku biasa berdoa. Biarkan akar pohon itu menyatu dengan tanahku, dan daunnya jadi peneduh bagi siapa pun yang datang.”

“Pohon?” tanya Ki Rangga.

“Ya,” jawabnya. “Namai tempat itu Sampangan, artinya ‘penanda’ — agar siapa pun yang datang tahu bahwa di bawahnya pernah bersemayam seorang pengelana laut bernama Nyi Roro Menges.”

Malam itu, hujan turun lembut. Angin membawa aroma bunga kenanga yang kuat. Warga yang tinggal di sekitar bukit mengatakan mendengar suara ombak bergemuruh meski laut berjarak jauh dari sana.

Keesokan paginya, rumah Nyi Roro Menges kosong. Tak ada siapa pun di dalamnya. Di atas meja bambu hanya tersisa selembar kain putih dan gelang kulit kerang yang dulu selalu ia pakai.

Pohon Sampangan

Ki Rangga, dengan air mata menetes di pipinya, memutuskan untuk menepati janji terakhir itu. Ia mengubur kain dan gelang Nyi Roro Menges di tempat perempuan itu biasa duduk berdoa, lalu menanam sebuah pohon muda di atasnya.

“Ini untukmu, Nyi,” katanya pelan. “Semoga rohmu tetap menjaga kami.”

Waktu berjalan. Pohon itu tumbuh cepat dan luar biasa besar. Daunnya rindang, batangnya kokoh, dan setiap kali angin bertiup, aroma kenanga tercium lembut di sekitarnya. Warga desa menyebut pohon itu Pohon Sampangan — pohon penanda.

Setiap orang yang datang dari jauh akan berhenti di bawah pohon itu untuk berdoa dan memberi penghormatan. Para nelayan yang baru pulang dari laut juga sering meletakkan sesaji kecil di bawahnya — seikat bunga melati dan segenggam garam laut — sebagai tanda terima kasih atas keselamatan mereka.

“Kalau bukan karena penjagaan Nyi Roro Menges, mungkin kita tak akan selamat dari badai,” kata mereka.

Dari Sampangan Menjadi Sampang

Waktu terus bergulir. Desa Pamelingan berkembang pesat. Orang-orang baru datang, membuka lahan, dan membangun rumah. Pohon Sampangan tetap berdiri sebagai pusat dan penanda desa. Dari generasi ke generasi, nama Sampangan mulai melekat sebagai sebutan bagi seluruh wilayah itu.

Namun seiring perubahan bahasa, pelafalannya bergeser — dari Sampangan menjadi Sampang. Kata itu lebih mudah diucapkan oleh lidah rakyat, dan akhirnya diresmikan sebagai nama wilayah.

Sejak itu, nama Sampang melekat dalam sejarah Madura. Sebuah nama yang lahir bukan dari perhitungan penguasa atau catatan kerajaan, melainkan dari legenda seorang perempuan yang datang bersama badai dan meninggalkan pohon sebagai penanda cintanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.