Awal Sebuah Nama: Jejak Legenda di Tanah Bangkalan
Kabupaten Bangkalan, yang kini menjadi pintu gerbang utama Pulau Madura, bukan hanya menyimpan keindahan alam dan warisan sejarah kolonial, tetapi juga kaya dengan kisah-kisah legendaris yang diwariskan dari mulut ke mulut. Salah satu kisah paling terkenal dan paling melekat dalam ingatan masyarakat Madura adalah asal-usul nama Bangkalan, yang dipercaya berasal dari teriakan rakyat “Bangka-la’an!” — sebuah seruan yang berarti “mati sudah” atau “telah tewas”, yang muncul ketika seorang pemberontak sakti bernama Ki Lesap tewas dalam pertarungan dahsyat melawan Cakraningrat V.
Legenda ini tidak hanya menceritakan perang dan tipu daya, tetapi juga menggambarkan pergulatan kekuasaan, kesetiaan, serta kebijaksanaan dalam menghadapi kekuatan yang tampaknya tak terkalahkan.
Ki Lesap: Sang Pemberontak Sakti yang Mengguncang Madura Barat
Konon, pada abad ke-18, di masa kekuasaan Cakraningrat V, Madura Barat berada dalam masa ketegangan politik. Kekuasaan Cakraningrat — bangsawan keturunan kerajaan Sumenep dan keturunan langsung Panembahan Ronggosukowati — mulai dirongrong oleh tokoh-tokoh yang menentang dominasi pusat pemerintahan di Bangkalan.
Salah satu yang paling disegani di antara para pemberontak itu adalah Ki Lesap. Ia dikenal sebagai lelaki sakti yang menguasai berbagai ilmu kanuragan dan kesaktian tingkat tinggi. Dalam cerita rakyat, Ki Lesap digambarkan bukan sekadar pemberontak, tetapi juga sosok yang memiliki semangat keadilan dan keinginan untuk menentang kekuasaan yang dianggap sewenang-wenang. Banyak rakyat kecil yang bersimpati padanya, menganggapnya sebagai pembela kaum tertindas.
Pasukannya berkembang cepat. Berkat keberanian dan taktik perangnya yang cerdik, Ki Lesap berhasil mengalahkan pasukan Cakraningrat berkali-kali, bahkan ketika sang penguasa memanggil bantuan dari Kompeni Belanda yang telah lama menjalin kerja sama politik dan militer.
Benteng demi benteng Cakraningrat jatuh. Ki Lesap menjadi legenda hidup yang sulit ditandingi. Di mata rakyat, ia seperti bayangan tak tersentuh; tombak tak mampu melukainya, peluru tidak menembus tubuhnya, dan ilmu kebalnya tak tertandingi. Banyak orang mulai mempercayai bahwa dirinya memiliki ajian tameng gaib yang melindungi tubuhnya dari segala senjata.
Mimpi Cakraningrat dan Siasat yang Mengubah Takdir
Kekalahan demi kekalahan membuat Cakraningrat V semakin gusar. Ia sadar bahwa kekuatan manusia biasa tidak akan cukup untuk mengalahkan lawan sekuat Ki Lesap. Dalam kebingungan itu, ia memohon petunjuk kepada Tuhan melalui tapa dan semedi. Dalam perenungan panjang, ia bermimpi melihat seorang wanita berpakaian putih membawa bendera putih datang ke hadapan Ki Lesap, dan saat itulah kesaktiannya lenyap.
Cakraningrat menafsirkan mimpi itu sebagai petunjuk untuk menipu Ki Lesap dengan tanda damai. Maka disusunlah sebuah siasat yang halus namun mematikan.
Ia mengutus seorang wanita cantik, berpakaian serba putih, membawa bendera putih sebagai tanda penyerahan. Wanita itu dikirim ke pesanggrahan tempat Ki Lesap beristirahat, membawa pesan bahwa Cakraningrat ingin berdamai dan mengakhiri perang.
Melihat tanda putih itu, Ki Lesap menurunkan kewaspadaannya. Ia percaya bahwa musuhnya telah menyerah dan perang sudah berakhir. Pasukannya diperintahkan beristirahat, sementara sebagian penjaga ditarik ke belakang. Inilah momen yang ditunggu Cakraningrat.
Di tengah malam yang tenang, Cakraningrat bersama pasukan pilihannya menyerang tiba-tiba. Dalam kekacauan yang terjadi, Cakraningrat sendiri maju ke garis depan, dan menancapkan tombak pusaka ke dada Ki Lesap. Darah mengucur deras, tubuh sang pemberontak yang dulu tak terluka oleh senjata manusia akhirnya roboh di tanah pesanggrahan itu.
Rakyat yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan menjerit dalam bahasa Madura, “Bangka-la’an!” yang berarti “mati sudah!” atau “telah tewas!”. Teriakan itu bergema ke seluruh wilayah, menjadi saksi bisu dari akhir perjalanan sang pemberontak sakti.
Bangkalan: Dari Seruan Kematian Menjadi Nama Kehormatan
Setelah peristiwa itu, daerah tempat Ki Lesap gugur dikenang oleh rakyat sebagai tempat teriakan “Bangka-la’an” itu terdengar. Seiring berjalannya waktu, pengucapan “Bangka-la’an” berubah menjadi Bangkalan, dan nama itu melekat hingga kini sebagai penanda wilayah yang menjadi pusat kekuasaan Cakraningrat V dan juga gerbang utama Pulau Madura.
Bagi sebagian masyarakat, nama Bangkalan bukan sekadar nama geografis, tetapi juga simbol dari kemenangan kecerdikan atas kesaktian, kemenangan akal atas kekuatan, dan pengingat bahwa setiap kekuasaan memiliki ujian dan batasnya.
Meskipun Ki Lesap kalah, kisahnya tidak berakhir dengan kekalahan semata. Dalam hati rakyat Madura, ia tetap dikenang sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan keberanian untuk melawan arus kekuasaan. Hingga kini, cerita tentang Ki Lesap masih sering diceritakan oleh para sesepuh di desa-desa Bangkalan, terutama ketika membicarakan asal-usul daerah mereka.
Joko Tole dan Dewi Ratnadi: Cinta dan Keajaiban di Tanah Socah
Selain kisah Ki Lesap, wilayah Bangkalan juga menyimpan legenda lain yang tak kalah menarik, yakni kisah Joko Tole dan Dewi Ratnadi di daerah Socah. Cerita ini tidak menampilkan peperangan atau pemberontakan, melainkan kisah cinta, pengorbanan, dan keajaiban yang menjadi asal-usul nama desa Socah.
Joko Tole dikenal luas di Madura sebagai tokoh legendaris yang sakti, bijaksana, dan rendah hati. Ia merupakan putra Arya Menak, tokoh bangsawan Madura yang dihormati, dan memiliki darah keturunan para raja Sumenep. Namun, berbeda dengan bangsawan lain, Joko Tole memilih hidup sederhana dan dekat dengan rakyat kecil.
Setelah menikahi Dewi Ratnadi, pasangan ini tinggal di sebuah wilayah tandus di barat daya Madura, daerah yang kelak dikenal sebagai Socah. Saat itu, wilayah tersebut belum memiliki sumber air. Panas matahari begitu terik, dan tanah kering retak di mana-mana.
Sumber Air dari Tongkat: Awal Mula Keajaiban
Pada suatu hari, Dewi Ratnadi merasa sangat haus, sementara tak ada setetes air pun yang bisa ditemukan. Joko Tole merasa iba melihat istrinya kehausan. Ia berdoa dengan khusyuk, memohon kepada Tuhan agar diberi jalan keluar. Setelah itu, ia menancapkan tongkat milik istrinya ke tanah.
Tiba-tiba, dari tempat tongkat itu menancap, muncullah semburan air jernih yang deras dan bening seperti kaca. Air itu terus mengalir, membentuk sumber air yang menyegarkan tanah kering di sekitarnya. Joko Tole bersyukur, dan Dewi Ratnadi segera meminum air tersebut dengan rasa gembira.
Namun, ketika ia mencoba melihat ke arah suaminya, matanya terasa perih dan gelap. Percikan air dari semburan itu ternyata mengenai mata Dewi Ratnadi, membuatnya kehilangan penglihatan. Joko Tole terkejut dan sedih. Ia memeluk istrinya dan berjanji bahwa air itu tidak akan disia-siakan, melainkan akan menjadi berkah bagi masyarakat sekitar.
Sejak saat itu, sumber air tersebut terus mengalir, menjadi penopang kehidupan penduduk di sekitarnya. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Socah, yang berasal dari kata “so’ cah” atau “mata”, sebagai pengingat atas kejadian di mana mata Dewi Ratnadi terkena semburan air dari tongkat ajaib.
Nilai-Nilai Moral dan Kearifan Lokal dari Dua Legenda Bangkalan
Dua legenda besar dari Bangkalan ini — kisah Ki Lesap dan kisah Joko Tole — mengandung nilai-nilai moral dan kearifan lokal yang dalam.
Keduanya tidak sekadar cerita hiburan, melainkan cermin pandangan hidup orang Madura tentang keberanian, kecerdikan, kesetiaan, dan keseimbangan antara kekuatan dan kebijaksanaan.
- Kisah Ki Lesap dan Cakraningrat V menggambarkan bahwa kekuatan tanpa kebijaksanaan akan membawa kehancuran. Kesombongan Ki Lesap membuatnya lengah, sementara kecerdikan Cakraningrat — meski melalui tipu daya — menunjukkan bahwa kemenangan tidak selalu bergantung pada kekuatan fisik semata.
- Kisah Joko Tole dan Dewi Ratnadi mengajarkan tentang pengorbanan dan kasih sayang sejati, serta keajaiban yang lahir dari ketulusan hati. Meski kehilangan penglihatan, Dewi Ratnadi menjadi simbol pengorbanan cinta yang menghasilkan kehidupan baru bagi banyak orang melalui sumber air yang ia bantu hadirkan.
Dari dua legenda ini, masyarakat Madura belajar bahwa kehidupan adalah keseimbangan antara kekuatan dan kebijaksanaan, antara perjuangan dan doa, serta antara cinta dan pengorbanan.
Legenda Sebagai Identitas Budaya Bangkalan
Bagi masyarakat Madura, legenda bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah jembatan antara sejarah dan nilai-nilai kehidupan, antara identitas dan kebanggaan. Di Bangkalan, kisah Ki Lesap dan Joko Tole menjadi dua pilar budaya yang terus diceritakan dari generasi ke generasi.
Cerita-cerita ini hidup dalam percakapan sehari-hari, dalam pertunjukan macapat, kentrung, dan tandak, juga dalam upacara adat dan kegiatan literasi budaya yang digalakkan oleh masyarakat dan lembaga seperti Rumah Literasi Sumenep.
Melalui pelestarian kisah-kisah semacam ini, generasi muda tidak hanya mengenal asal-usul daerahnya, tetapi juga menyerap nilai-nilai kebijaksanaan leluhur.
Dari Legenda ke Warisan
Kini, Bangkalan telah menjadi kota modern yang ramai dengan aktivitas ekonomi, pendidikan, dan budaya. Namun, di balik modernitas itu, jejak legenda masih terasa hidup. Beberapa tempat yang dipercaya menjadi lokasi gugurnya Ki Lesap masih dihormati sebagai situs sejarah, sementara wilayah Socah tetap dikenal dengan sumber airnya yang jernih dan subur.
Cerita-cerita seperti ini menjadi pengingat bahwa setiap nama tempat memiliki sejarah dan makna yang mendalam. “Bangka-la’an” bukan hanya seruan kematian, melainkan simbol lahirnya identitas dan keberanian, sementara “Socah” bukan hanya nama desa, melainkan simbol cinta dan pengorbanan.
Nilai yang Tak Lekang oleh Waktu
Dua legenda Bangkalan ini — tentang Ki Lesap dan Cakraningrat, serta Joko Tole dan Dewi Ratnadi — menunjukkan bahwa kisah rakyat adalah cermin dari kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu. Dari cerita tentang peperangan dan cinta, masyarakat Madura diajak memahami bahwa kekuasaan, kesaktian, dan cinta sejati semuanya memiliki batas dan konsekuensi.
Dalam setiap nama tempat, dalam setiap tutur rakyat, terdapat warisan makna yang mengikat masa lalu dan masa kini.
Dan di Bangkalan — tanah yang lahir dari teriakan “Bangka-la’an” dan disegarkan oleh mata air cinta di Socah — legenda-legenda itu terus hidup, menjadi denyut nadi kebudayaan Madura yang tak pernah padam.
(Lontar Madura)