Upacara Adat Pangantan Benusan di Sumenep
Yang kedua harus punya keteran (burung perkutut) yaitu ke punya arti kiyai, ulama . Belajar dan belajarlah pada kiyai atau ulama sampau mempunyai jimat (ngaji sampai tammat, meski sampai liang lahat ). Sedang kata te: punya makna papate (patih). Setiap warga harus patuh dan mengabdi pada pimpinan, karena dalam falsafah Madhura dikenal dengan ungkapan bhupa’, bhabu’, guru, rato, jadi setiap manusia wajib mengadi serta serta berdedikasi diri sebagai warga negara ,bermasyarakat dan berlingkungan yang baik. Kemudian kata ran, yaitu pangeran. Setiap manusia harus mempunyai semangat dan jiwa pangeran, kreatif, inonatif dan mempunya wawasan kedepan, yang nantinya akan menjadi raja atau pemipin bangsa dan negara
Yang ketiga, yaitu harus ngobu jharan (memelihara kuda). Bahwa jharan atau kuda dikiaskan sebagai hewan yang tangguh, tidak bermalas-malasan, suka bekerja berat meski menanggung beban berat. Itulah antara gambaran jharan sebagai motivasi calon pengantin yang nantinya akan menjalani luku-liku hidup harus berjuang keras untuk memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya.
Itulah antara lain petuah-petuah yang disampaikan para pengirim dari kedua belah bihak. Dialog ini disampiakan secara santai, kekeluargaan namun sarat makna yang dikandungnya.
Menurut Moh. Taufik, salah seorang yang kerap dipercaya sebagai wakil keluarga pengantin itu, menyatakan bahwa sampai saat ini tradisi dan upacara adat Pangantan Bannusan masih berlangsung, khususnya di sekitar Desa Braji dan Karangbudi. Taufik yang telah menerbitkan buku Sangkolan Bukona Tamba, tampaknya menjadi generasi terakhir yang akan berusaha mempertankan tradisi tersebut. (Syaf Anton Wr/Lontar Madura)
Dibawah layak dibaca