Upacara Adat Pangantan Benusan di Sumenep
Sarat Ungkapan Kias
Setelah demikian lama terjadi dialog, bahkan cenderung adu ketrampilan dalam menyampaikan kata-kata atau kalimat-kalimat kias yang bernilai puitis itu, tergantung sejauh mana kemampuan masing wakil mengungkapkan kalimat atau kata-katanya. Kalau memang ternyata maksud dan tujuan meragukan atau oleh sebab lain ternyata kurang mendapat respon dari pihak tuan rumah, bisa akan terjadi penolakan.
Demikian pula sebaliknya apabila ternyata keduabelah pihak sama-sama merespon dan sarojhu’ (sepakat), maka lamaran itu dapat diterima dan bisa dilanjutkan kejenjang berikutnya, yaitu perkawinan.
Bila memang sarohju’ si rombongan calon pengantin laki-laki, lalu dizinkan dan dipersilakan untuk masuk. Setelah masuk ketempat yang disediakan yaitu tarop (terop) yang kemudian dimaknakan sebagai : ta: nata (menata barang), adat tengka se ampon sorop. (adat tingkah laku yang sudah surup (senja)
Setelah mereka berkumpul di bawah terop, kedua belah pihak mulai membahas lagi beberapa hal yang berkaitan dengan kelanjutan pertemuan tersebut. Dalam kondisi seperti kembali diungkap dengan simbol-simbol atau kias, yang dalam posisi tersebut direprentasikan melalui macapat (yaitu seni tradisi lisan yang mengungkap dan menafsirkan beberapa makna kehidupan dalam bentuk lanturan syi’ir (macapatan) dan panegghes (kalinat-kaloiman yang dijabarkan atau ditegaskan).
Kisah sastra lisan dalam macapat tersebut, yaitu membahas sekitar pengatin dan proses kehidupan dan tanggung jawabnya. Hal ini berlangsung semalam suntuk, baik tamu atau pengirim dari rombongan laki-kali maupun tuan rumah dari keluarga perempuan mengikuti dengan seksama dan suntuk. Itulah yang nantinya menjadi bekal dan wejangan dalam menjalani hidup kedua calon suami istri tersebut.
Dibawah layak dibaca