Kemudian mereka meletakkan hasil tani tersebut berjejer secara melingkar, sehingga terkesan ditempat itu terdapat ragam hasil tani, dan diantara tumpukan hasil tani tersebut dipancang sejumlah colok (obor) yang nantinya akan mengelilingi perhelatan ritual. Maksud dari obor tersebut, merupakan symbol agar hasil tani yang dijejer selalu mendapat petunjuk dan penerangan dari Yang Maha Kuasa, sedang ragam hasil tani itu, menjadi simbol bahwa itulah yang selama ini mereka hasilkan.
Namun dalam perkembangannya pergelaran ritual Topeng Gulur mulai berubah, barangkali generasi selanjutnya kurang apresiatif atau memiliki pemikiran yang lebih pragmatis dalam memahami peristiwa yang menjadi tradisi masyarakatnya. Hal ini dibuktikan ketika mereka (para peaku) memainkan Topeng Gulur, kostum yang dikenakan mulai disederhanakan.
Selama pergelaran berlangsung gerak tari Topeng Gulur diingi bunyi-bunyian, yaitu sekolompok music (tetabuhan) yang biasa dimainkan dalam musik saroren. Perbedaannya disini, dalam iringan musik Topeng Gulur, irama saronen (terompet/alat tiup) sedikit berbeda namun dalam peralatan yang sama. Selebihnya bunyi-bunyian yang mengatur gerak tari, yaitu crek-crek (?) pukulan kecrek (yang kerap dilakukan pada Topeng Dalang) yang menandakan diksi pada gerak kaki, tangan, dan kepala para pemain (pelaku).* (Lontar Madura)
Tradisi yang perlu dipertahankan sebagai aset budaya nasional