Endy Saputr o, seorang staf dari CRCS, mempresentasikan sebuah diskusi tentang tayub di Wednesday Forum pada tanggal 11 November, 2009. Endy mendiskusikan bagian kecil dari penelitiannya, mengenai sebuah seni pertunjukkan tradisional di bagian timur pula Madura, dengan judul “Tayub in Madura: From Rites Economy to Symbolic Power”. Ini adalah sebuah topik menarik mengingat topik agama dan kebudayaan lokal kurang mendapatkan perhatian dari para siswa CRCS untuk mempelajarinya. Dengan demikian, presentasi ini adalah bagian dari apresiasi Endy untuk menyajikan sebuah topik yang sangat terhubung erat dengan isu-isu agama dan kebudayaan lokal.
Tayub di Madura dipandang sebagai sesuatu yang minor dan penuh dengan stereotip negatif, karena Madura dan wilayah lainnya di Pulau Jawa adalah mayoritas Muslim, meskipun demikian telah ada banyak beberapa sarjanawan yang meneliti Tayub, yang pertama adalah Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java, dimana Geertz mengkategorikan tayub adalah bagian dari tradisi kaum abangan. Robert Heffner di salah satu babnya Hindu Javanese, menulis tentang politik dan seni kebudayaan, dimana ia mendiskusikan tentang tayub didalamnya. Heffner menjelaskan bahwa tayub adalah bagian dari ritual masyarakat Hindu dan berubah ke seni kebudayaan yang popular.
Ketika Islam masuk ke wilayah Tengger, tayub dianggap sebagai tarian yang tidak Islami. Ada pula Felicia Hughes Freeland, yang menulis sebuah artikel “Tayuban: Culture on the Edge”, didasarkan pada studi lapangannya di Gunung Kidul. Felicia menemukan sebuah kesimpulan menarik, bahwa tayub juga menjadi bagian dari festival bersih desa dan menjadi arena politik dari kesultanan Yogyakarta. Ada pula Huysen, yang melakukan penelitian di Surakarta dan menemukan bahwa orang-orang Cina sesungguhnya juga mempunyai jenis seni pertunjukkan ini sebagai ritus mereka. Ada pula banyak penelitian mengenai tayuban lainnya yang diteliti di wilayah Banyumas, Banyuwangi dan wilayah lainnya.