Marlena; Menyongsong Masa Depan

Narti terjengah.

“Nar, kau adalah sahabatku yang paling kupercaya. Tapi kenapa kau tidak mau mengerti posisiku selama ini. Hampir segala hal, aku telah mencurahkan sepenuhnya keadaan hidupku dengan jujur. Tapi apa yang terjadi?”. Marlena menyesal.

“Sebaliknya, kejujuran hanya kau jadikan alasan untuk dipercayai.”

“Nar,” Marlena tersentak.

“Bukti terlalu kuat Len,” ujar Narti.”Kau tidak perlu membohongi diri sendiri. Kalau kau mau jujur, kenapa kau penuhi permintaan Pak Jamil. Sementara di pihak Taufik, justru terpukul oleh ulah Pak Jamil sendiri. Kau tahu, siapa Pak Jamil sebenarnya?” suara Narti mantap.

“Jadi engkau pun menuduh seperti itu?”

“Lebih dari itu.”

“Maksudmu?”

Narti tidak segera menyahut. Hanya pandangan matanya diarahkan sepenuhnya pada Marlena. Seakan pandangan itu menembus relung-relung hati Marlena. Melihat suasana itu, Marlena timbul rasa aneh di benaknya. Ia seakan diseret oleh suatu bentuk masalah yang terselubung dalam diri sahabatnya itu.

“Aku mencintai Pak Jamil,” kata itu terlontar begitu saja dari mulut Narti.

Marlena hampir tidak percaya, bila kalimat-kalimat plastis telah tertanam jauh di lubuk hati Narti. Ah, beginikah galaunya hati seorang wanita di mata laki-laki? Cinta, begitu diucapkan merupakan tanggung jawab dan beban bagi pemilikinya. Dan cinta itu sendiri, kadang melingkar-lingkar di atas padang pasir, seperti baling-baling yang sedang memutar cepat dan yang tampak hanya lingkaran samar.

Demikiankah yang terjadi pada Marlena dan Narti? Cinta telah memutarkan baling-baling hati kedua wanita itu dalam bentuk yang berbeda. Kadang cepat kadang samar, kadang pula lambat dan tampak.

“Baiklah Nar, kalau itu memang kenyataannya. Aku jelaskan dengan jujur bahwa sebenarnya hubunganku dengan Pak Jamil, tak lebih dari seorang anak buah terhadap pembinanya,” jelas Marlena. “Kau tahu kan, aku dan Pak Jamil memiliki profesi dan karir yang sama. Dan kesediaanku menuruti harapan Pak Jamil, semata-mata hanya demi peningkatan karir yang kami geluti selama ini. Tidak untuk maksud yang lain, Nar.” Marlena menjelaskan dengan suara tersendat-sendat, seakan dirinya melepaskan tali-temali yang selama ini melilit-lilit hatinya. Sedang Narti, dalam suasana itu bagikan pesakitan yang didakwa dalam sidang.

 “Seandainya kau mau jujur tentang posisimu selama ini, toh aku tidak akan keberatan bila kau jadikan jembatan,” ungkap Marlena. “Aku juga menyesal terhadap sikap Taufik yang masih belum mengerti tentang keadaanku selama ini. Ia lebih condong mendahulukan emosinya daripada daya nalarnya.” Marlena berusaha menuntaskan gejolak hatinya, namun kodrat wanitanya telah menghentikan kehendak dalam tangis haru dan sesal.

“Maafkan Len,” lontar Narti. “Aku terlalu gegabah menilai seseorang. Aku sadari, meskipun aku berusahaa mendekatkan diri pada Pak Jamil, namun bukan suatu jaminan bahwa Pak Jamil akan memahami, apa yang terjadi terhadapku.

“Yah, meskipun demikian, kita tetap berusaha untuk lebih mengerti posisi kita sebagai wanita. Gerak kita selalu dibatasi oleh lingkungan. Sementara bila kita punya maksud kadang terjegal oleh kodrat kita yang telah digariskan menjadi makhluk yang dilemahkan. Untuk itu, satu-satunya jalan untuk merebut kemenangan itu ialah kejujuran hati.”

 “Benar katamu. Keterbukaan dan kejujuran akan menguakkan hati yang sempit.”

Saat itu pulalah kedua sahabat itu mulai saling mengerti. Keduanya serasa sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap dirinya maupun sahabatnya. Tugas Narti, kini sebagai jembatan penghubung antara Marlena dan Taufik. Sedang tugas Marlena juga sama. Yaitu sebagai jembatan penghubung antara Narti dan Pak Jamil.

Kedua jembatan itu pada akhirnya berhasil guna. Kebutuhan kehidupan perekonomian kedua hati wanita yang pernah luka itu, lambat laun memakmurkan kebutuhan santapan hati dalam suasana cerah ceria. Kadang mereka berempat bergabung dalam satu arena diskusi, yang kadang pula timbul perdebatan sengit dalam mempertahankan prinsipnya.

Namun sejauh hubungan mereka, tak secuil pun tampak di kulitnya bahwa sebenarnya kedua pasang anak manusia yang berlainan jenis itu telah membentuk bongkahan-bongkahan cinta yang tersimpan dengan rapi jauh di lubuh hati mereka. Mereka sadar, mereka adalah bagian terkecil dari sekelompok manusia di alam ini yang ingin merebut kemenangan hidup. Dan kemenangan itu tidak akan turun begitu saja dari langit. Merebut kemenangan harus melalui jalan perjuangan. Dan perjuangan ini mulai dimantapkan oleh Marlena, Taufik, Narti, dan Pak Jamil dalam suatu keadaan yang positif. Sehingga dengan belajar dan belajar merupakan jalan lempang menuntun ke sana.

Rangkaian waktu telah merangkum kenangan-kenangan dan pengalaman Marlena. Dan waktu pun telah menjawab dengan tegas, bila dalam usia delapan belas tahun mengantarkan diri Marlena ke porsi lebih berarti. Pergulatan hidup yang ia tancapkan di pesisir pantai Lebak sepuluh tahun yang lalu, kini mulai tampak wujudnya menjadi tugu-tugu keberhasilan sehingga Marlena menduduki kelas tiga di SMA-nya. Dengan demikian rangkaian cita-cita yang telah tersusun rapi jauh sebelumnya, mulai diperkukuh untuk meloloskan diri ke peringkat lebih jauh kelak.

Demikian pula posisi hatinya yang sebagian telah diletakkan di bagian hati Taufik, merupakan jawaban tegas, betapa ia sebagai seorang wanita masih merindukan rasa cinta dan dicintai oleh sesamanya. Cinta dan kenangan itu kini mulai mengembang dalam mimpi-mimpi Marlena.

Marlena masih ingat betul, betapa berat melepaskan tatapan matanya ketika Taufik harus berangkat meneruskan cita-citanya ke Jember. Ia kini mulai meleburkan diri dalam suasana baru di tempat rantau.

“Aku mengambil jurusan social politik,” kata Taufik tentang maksud kuliahnya di Universitas Jember.

“Pilihan yang tepat,” komentar Marlena. “Sebab kau lebih pandai bersembunyi di balik topeng politik,” gurau Marlena.

“Karena aku tidak bisa berseni-seni seperti engkau.”

“Seni itu perlu dalam politik. Karena tanpa seni, politik akan menjadikan kamu cerai berai,” ujar Marlena dalam tawa.

“Untuk itu, yang menyatukan nanti dirimu.”

“Bila Tuhan mengizinkan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.