Warga Asal Madura di Banyuwangi Lestarikan Tradisi Macaan

Komunitas warga asal Madura di Banyuwangi kini memiliki kelompok paguyuban yang disebut Joko Tole. Nama ini diambil dari tokoh pahlawan nasional asal Madura. Komunitas Joko Tole berdiri tahun 2004 dan baru diresmikan 18 Februari 2005. Sebelum muncul paguyuban ini, warga Madura di Banyuwangi memiliki Rukun Keluarga Madura (RKM). Karena anggotanya lebih banyak kalangan elite, keberadaan RKM kurang diketahui warga Madura umumnya. Kisahnya, komunitas Madura eksodus ke bumi Blambangan dulu karena digiring penjajah Belanda.

Kebanyakan mereka bekerja di pesisir sebagai nelayan, di perkebunan menjadi buruh, dan di pasar sebagai pedagang. Kini, total warga Madura di Banyuwangi ditaksir mencapai 56% dari total penduduk Banyuwangi sebanyak 1,6 juta jiwa. Hampir 70% keturunan warga Madura yang eksodus pada zaman penjajahan, sebagian lagi keturunan warga Madura yang merantau setelah zaman penjajahan. Sampai sekarang warga Madura di Banyuwangi banyak yang bergelut  dalam pekerjaan di pasar, sebagai nelayan, dan buruh perkebunan.

Ketua Paguyuban Joko Tole Mohamad Ilyas Karnoto mengatakan awalnya pembentukan paguyuban ini diprakarsai kalangan warga asal Sumenep. Lambat laun, sejumlah warga asal kabupaten lain di Madura mulai ikut bergabung. “Totalnya diperkirakan 50.000 orang lebih,” katanya, Kamis (28/1). Dari jumlah itu tercatat 10.000 warga mengantongi kartu tanda anggota (KTA).

 Selain ajang silahturahmi, Paguyuban Joko Tole berfungsi melestarikan budaya asli Madura. Salah satunya yang masih eksis adalah tradisi macaaan  atau membaca lontar, dan tarian asli Madura.  Paguyuban ini juga rutin menggelar kegiatan sosial menggalang dana tiap Minggu pagi. Sasarannya warga Madura yang berjualan di tiga pasar di Kota Banyuwangi.

Hampir seluruh hasilnya disumbangkan untuk pembangunan masjid di Banyuwangi. Sebagian lagi dikirim untuk pembangunan masjid di Madura. “Tiap Minggu pagi kami bisa mengumpulkan uang hingga Rp 1 juta dari anggota,” ungkap Sunoto. Uang itu dipungut secara suka rela melalui acara surbanan atau menggalang dana menggunakan surban.

 Kegiatan silahturahmi digelar dengan mengadakan pertemuan rutin minimal sebulan sekali. Lokasinya dipilih bergiliran. “Bulan Februari besok, paguyuban ini akan berulang tahun yang ke lima. Perayaannya akan dimeriahkan kesenian asli Madura,” kata Sunoto.

Oleh karena bisa merangkul seluruh lapisan warga Madura, Paguyuban Joko Tole kerap menjadi incaran partai politik, terutama musim pemilihan bupati seperti tahun ini. Sunoto mengaku sudah ada empat bakal calon bupati yang merapat. “Tetapi, kami tidak berani memberikan dukungan. Untuk politik kami serahkan ke pilihan masing-masing anggota,” ujarnya.

Sisi positif berdirinya paguyuban ini, menurut Sunoto, warga Madura di Banyuwangi tidak lagi mudah tergiur ajakan berdemo. “Sebelum ada paguyuban, warga Madura gampang diajak demo. Sekarang benar-benar berkurang drastis,” katanya. -udi

sumber: http://www.cybertokoh.com/

Responses (2)

  1. Ah salah ni datanya, masih jauh dari angka 56%.
    Suku madura menjadi mayoritas hanya dikecamatan kalibaru, glenmore dan wongsorejo, kalipuro, di muncar cukup banyak tapi tidak mayoritas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.