Tradisi “Toron” Nilai Solidaritas Persaudaraan Warga Madura

tradisi toron
"Toron". Antrian panjang di jembatan Suramadu

Oleh : Syaf Anton Wr

Toron (Madura) mempunyai makna “turun kebawah”, atau pulang kampung atau mudik. Namun makna toron pada dasarnya mempunyai makna lebih luas lagi, yaitu membangun kembali solidaritas yang mengarah jalinan tali silaturrahmi antar keluarga dan kerabat orang Madura yang di tanah kelahirannya.

Dengan toron, keutuhan dan keakraban antar warga Madura akan tetap terjalin semakin rapat dan mesra. Untuk itu, ketika orang Madura pada saatnya mudik, tentu telah mempersiapkan diri dengan bekal-bekal bawaan yang secara formalis sebagai oleh-oleh, sekaligus sebagai bentuk manifestasi dari keterikatan kekeluargaan, meski mereka harus merantau sejauh mana meninggalkan tanah kelahirannya.

Ada tiga peristiwa penting bagi warga Madura untuk toron. Yang pertama, yaitu pada saat lebaran Hari Raya Idul Ftri, Hari  Raya Idul Adha dan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain tiga peristiwa tersebut, toron bisa dilakukan setiap  saat.

Pada saat Idul Fitri secara umum dilakukan hampir suluruh warga Madura harus toron, tanpa melihat siapa dan apa urusan mereka di tanah rantau. Hal ini sama dengan ummat muslim lainnya. Namun pada saat Hari Raya Idul Adha, yang kemudian disebut Hari Raya Besar atau Hari Raya Reaje (rajhe), toron umumnya dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah pedesaan, yang note bene mempunyai wilayah tradiri kekerabatan yang sangat kental dan kuat.

Panutan masyarakat Madura terhadap tokoh, kiyai, ulama, guru dan orang tua tentu menjadi tolok ukur tingkat pengabdiannya terhadap sesepuh dan pendahulu mereka. Hal ini juga diimplementasikan pada saat Peringatan Maulud Nabi Besar Muhamad SAW. Kesungguhan masyarakat Madura terhadap panutan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, tidak sekedar melaksanakan sunnah-sunnahnya, namun lebih jauh lagi mempunyai makna yang dalam terhadap peristiwa itu dengan melakukan tindakan nyata, yaitu memeriahkan hari besar Islam tersebut dengan berbagai katifitasnya.

Khususnya untuk Hari Raya Besar dan Peringatan Maulud Nabi, telah menjadi simbol tingkat keperhatian masyarakat Madura terhadap solidaritas dan tali persaudaraan : bila cempa palotan, bila kanca taretan, merupakan manifestasi nilai persaudaraan dan kekerabatan.

Bagai orang Madura toron tidak akan merendahkan martabat orang Madura, sebagaimana dihawatirkan Bupati Pamekasan Kholilurrahman, (lontarmadura.com), karena kata dalam bahasa Madura mempunyai makna tersendiri. Dengan toron justru akan memgembalikan jatidiri dan kodratnya sebagai manusia Madura. Dan saya pikir biarlah istilah toron berjalan secara alamiah, sebab toron sendiri merupakan bagian peristiwa budaya yang tidak lepas dari tingkah laku masyarakat (Madura) yang menjalankannya.

Dalam posisi  ini tidak ada bedanya istiralah “carok”, yang bermakna negatif dimata orang luar, yang tidak mungkin diganti dengan ucapan atokar (bertengkar) dan sejenisnya, karena toron sendiri, pada akhirnya menjadi simbol nilai kekerabatan orang Madura.

Meski ada toron tidak ada sitilah ongga (naik), karena ketika orang Madura kembali kedaerah rantauannya kata ongga tidak lagi digunakan, justru kerap disebut dengan istilah alajar (berlayar). Seharusnya Pak Bupati Pamekasan berbangga dengan lahirnya istilah toron, karena toron merupakan peristiwa spontan  dan tak seorangpun dapat mengubah kata toron, kecuali ada istilah lain yang dapat diterima oleh warga Madura.

Menjaga Kearifal Lokal Madura

Kearifan lokal menjadikan media dalam menyusun kebutuhan rohaniyah bagi keberlangsungan hidup masyarakat Madura, dimana ia bermukim. Selain agama (Islam) kearifan lokal menjadi pemicu bertahannya sebuah tradisi yang tetap bertahan dan menjadi pertahanan kekerabatan antar warga Madura. Kearifan lokal kerap diekspresiakan dalam bentuk saloka seperti :

Andhap asor tampaknya menjadi tolok ukur dalam menanamkan etika dan estetika, termasuk didalamnya tentang kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya sehingga menjadi raddin atena, bagus tengka gulina (cantik hatinya, baik tingkah lakunya). Untuk membangun kebersamaan dalam saloka diungkap bila cempa, palotan, bila kanca, taretan, (bila beras (kualitas) yaitu ketan, bila teman adalah saudara), hal disimbolkan sebagai bentuk untuk menjaga keutuhan persabatan perlu dijaga:  Mon ba’na etobi’ sake’ ja’ nobi’an oreng (kalau kamu dicubit sakit, jangan nyubit orang lain)

Kehidupan yang harmoni  menjadi  penekanan kehidupan yang diharapkan dalam rampa’ naong beringin korong, serta  ghu’tegghu’ sabbhu’ atau song-osong lombung, merupakan solidaritas sosial antar warga. Meski kekerasan kerap menjadi indentitas orang Madura seperti carok misal, dalam pandangan orang Madura memiliki tempat tersendiri, karena alasan-alasan tertentu menyangkut perasaan malo (malu) akibat harga diri diinjak-injak sehingga melahirkan carok.

Ango’ potea tolang etembang pote mata (lebih baik putih tulang daripada putih mata, lebih baik mati daripada menanggung malu)atau otang pesse nyerra pesse, otang rassa nyerra rassa, otang nyaba nyerra nyaba (hutang uang uang dibayar uang, hutang rasa dibayar rasa, hutang nyawa dibayar nyawa) yang barangkali menjadi pertimbangan mereka. Sebenarnya semua itu dapat diselesaikan dengan terhormat bila diawali dengan abhak-rembhak (berembuk, musyawarah)yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Madura.

Masyarakat Madura dikenal sebagai perantau, dan dari sinilah kemampuan dalam etos kerja diungkap seperti karkar kar colpe’, bantheng tolang seang are seang malem, sapa atane bakal atana’, sapa adagang bakal adaging, abharentheng, abanthal omba’ asapo’ angin, alako berra’ apello koneng dan sejenisnya menunjukkan  etos kerja dalam usaha memenuhi kehidupan sehari-harinya, meski harus “kepada jadi kaki, kaki jadi kepala”.

Bila kerja banyak menghasilkan untung sehingga menjadi kaya,  jalan lupa yang miskin atau tidak mampu, karena yang kaya berkewajiban menjadi tulang punggung yang miskin, mon sogi pasogha’ (bila sudah kaya harus perkasa), jangan sekali-kali raja guntorra tadha’ ojanna (besar bunyi halililantar, tapi tidak ada hujan)dan sebaliknya atau menjadi keras ta’ akerre (keras tapi tidak sakti).

Response (1)

  1. Saya baru memahami, kenapa setiap lebaran haji dan maulud nabi orang Madura yang ada di rantau selalu ingin pulang. Hal ini juga dialami oleh tetangga saya yang berasal dari Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.