Tan-Mantanan, Tradisi Permainan Anak Madura

Uraian Peristiwa dalam Bait-Bait, “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.”

Berdasarkan analisa yang terkandung dalam syair, dan berdasarkan perkiraan sesepuh Sumenep, H. Saleh Muhammady, bait-bait “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”, bahwa syair ini diciptakan sekitar tahun 1574 M, sebagaimana tertera dalam kalimat, kalimas topa’”, yaitu dari kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7) dan pa’ (4). Namun tidak menutup kemungkinan angka tersebut belum menjamin kebenarannya, karena analisa lain, kata, “kalimas topa’” memiliki makna lain pula.

Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah rentetan sejarah awal terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat diuraikan dalam kalimat, “Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata koddu’, yang condong pada jaman pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran Wetan – 1574 M), yaitu pada jaman Ratu Tirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di sebut dalam kata, “bukong”, artinya kakak tua, yaitu perlambang burung yang menjelaskan bahwa Tumenggung Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri masjid Jamik dan keraton Sumenep).

 Tulisan bersambung:

  1. Tan-Mantanan, Tradisi Permainan Anak Madura; lihat
  2. Nilai Kesejarahan Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang; lihat
  3. Kandungan Filsafat Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang; lihat  

#  Gambar peristiwa, Tan-Mantanan; lihat

Responses (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.