Menurut penuturan beberapa sumber, Kesenian Sapè Sono’ terlahir dari kebiasaan atau budaya tani masyarakat Madura. Masyarakat Madura yang mayoritas adalah para petani, yang tentu saja menggantungkan hidupnya dari hasil lahan pertanian.
Kebiasaan masyarakatnya menggunakan jasa sapi pada saat mengolah tanah pertanian dengan cara membajak. Sapi-sapi yang digunakan dalam proses pengolahan tanah pertanian ini umumnya adalah sapi-sapi betina yang disandingkan satu sama lain (berpasangan) untuk menarik nangghale (alat membajak ladang). Berawal dari kebiasaan ini sapi-sapi betina itu tampak nilai gunanya. Kekompakan pada saat menarik nanghale itulah yang kemudian menjadi dasar kesamaan atau kekompakan dalam langkah-langkah sapi betina pada Kesenian Sapè Sono’.
Kebiasaan yang lainnya, yang menjadi penanda terbentuknya Kesenian Sapè Sono’ adalah kebiasaan para petani memandikan atau membersihkan tubuh sapi yang dilakukan setelah selesai membajak. Sapi-sapi dimandikan di kali dekat ladang, digosok sampai tampak bersih kemudian diikatkan pada sepasang kayu atau pohon di sebelah kiri dan kanan sapi. Sapi-sapi tersebut seperti dipajang, dan sipemilik sapi mengamatinya. Kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada terbentuknya Kesenian Sapè Sono’ juga disempurnakan dengan dilangsungkannya kebiasaan memajang sapi-sapi para petani sekitar. Bentuk kegiatan ini, menurut penuturan H. Zainuddin dan H. Hatib (tokoh Kesenian Sapè Sono’ Waru dan Pasean Pamekasan), mereka biasa menyebutnya dengan Sapè Taccek.
Sapè Taccek disini pada intinya sekadar memajang sapi pada sebatang penyangga atau potongan pohon bambu, tanpa perlengkapan atau aksesoris. Kebiasaan ini sebenarnya dilatar-belakangi oleh prosesi pemajangan sapi yang dalam posisi berdiri tegap, keindahan tubuh dan warna kulit yang mengkilap (Ensiklopedi Pamekasan; 2010). Sapè Taccek inilah yang juga menjadi cikal-bakal terbentuknya Kesenian Sapè Sono’. Dari aktivitas atau kebiasaan para petani yang spontanitas itulah kemudian kesenian ini menemukan bentuknya. Maka seiring berjalannya waktu, kesenian ini dikenal dengan Kesenian Sapè Sono’.
Daya tarik pada Kesenian Sapè Sono’ ini adalah terdapat pada “kecantikan” sapi-sapi. Artinya sapi-sapi yang dilombakan merupakan sapi-sapi betina pilihan; tampak sehat, berbadan bagus, dengan warna kulit mengkilat. Dan lebih menarik lagi, sapi-sapi betina ini didandani layaknya seorang peragawati. Hampir di sekujur tubuh sapi dilengkapi dengan aksesoris dengan warna yang mencolok (merah, kuning, hijau, keemasan).
Sebelum acara inti dimulai, para pemilik sa pi mengiringi langkah gemulai sapi sambil menari. Suasananya tampak semakin semarak karena langkah gemulai Sape’ Sono’ ini diiringi dengan musik tradisional Madura bernama Saronen. Keberadaan atau kepemilikan akan sapi, telah memunculkan beragam perilaku atau aktivitas dan kreativitas yang lainnya. Sapi pada akhirnya sedemikian “dihargai”. Sapi dicintai dipelihara, dirawat, bahkan “didandani” demi memunculkan sebuah nilai yang lebih lagi. Sapi kemudian tak cukup membantu dalam proses pengulahan ladang atau sekadar ditaruh di dalam kandang.
Kesenian Sapè Sono’ juga dapat dimaknai sebagai media sosial-budaya masyarakat atau para penikmatnya. Mereka yang datang/menikmati Kesenian Sapè Sono’ adalah para pencinta atau para penggemar. Mereka adalah para pencinta keindahan. Kedinamisan dalam kesenian Sapè Sono’ dapat ditangkap dari keharmonisan gerak dan langkah sapi, berpadu dengan alunan musik Saronen yang Maduraistik itu. Adanya aktualisasi penghargaan terhadap sapi inilah, justru menambah “nilai jual” sapi.
Sapi-sapi yang digelar dalam prosesi Kesenian Sapè Sono’ adalah sapi-sapi yang benarbenar memiliki banyak kelebihan. Artinya kualitas sa pi sudah benar-benar tertangkap dari aspek visualisasi postur atau bentuk tubuh sapi. Sapi yang berkualitas dalam Kesenian Sapè Sono’ bukan sekadar bobot tubunya yang ideal (tidak kurus atau tidak terlalu gemuk, kulit mengkilat, memiliki mata dan tanduk yang bagus, dsb), akan tetapi kualitas pasangan Sapè Sono’ itu diketahui juga dari keserasiannya dalam melangkah. Jika dalam melangkah terjadi semacam ketidakserasian (tidak kompak) maka sapi-sapi tersebut belum bisa dikatakan berkualitas.
Kemudian aktualisasi Kesenian Sapè Sono’ ini tidak berhenti pada aspek visual atau keindahan tubuh sapi. Eksistensi kesenian ini membawa dampak positif yang lainnya, diantaranya: berfungsi sebagai media silaturrahim para pemilik atau pencinta sapi, sebagai ajang jual-beli sapi, memacu produktivitas peternakan sapi, serta mampu meningkatkan prestise dan status sosial pemiliknya. Sapi bagi orang Madura, telah menjadi bagian terpenting dalam dinamika kultur-sosialnya. Maka Kesenian Sapè Sono’ merupakan sebuah bentuk representasi dan prestise tersendiri bagi orang Madura.
Sumber akses: http://jawatimuran.wordpress.com/