Potensi dan Apresiasi Masyarakat Madura Terhadap Sastra Madura

Selain sebagai sumber ide dan semangat sastra dan budaya Indonesia, sastra Madura memiliki peranan lain yaitu sebagai baju pelindung sastra dan budaya Indonesia dari serangan budaya asing. Baju pelindung dalam hal ini didefinisikan sebagai watak masyarakat Madura dalam menjaga dan melindungi apa-apa yang dimilikinya. Jika sastra Madura mampu bertahan hidup, semata-mata itu karena watak peggunanya yang bertanggungjawab dan berkepribadian baik. Jika masyarakat Madura memiliki watak yang baik, maka mereka tidak akan pernah rela kehilangan sastra yang telah mereka punyai dan mereka gunakan yaitu sastra Madura.

Mempertahankan keberlangsungan hidup sastra Madura  secara tidak langsung telah mengajarkan kepada masyarakat Madura untuk bertanggungjawab terhadap kondisi sosial masyarakat mereka sendiri. Jika mereka mampu melakukan ini, maka mereka akan mampu pula mempertahankan sastra Indonesia serta budaya Nasional.

Sayangnya, potensi ini akhir-akhir ini mulai terabaikan. Ini ditunjukkan dengan banyaknya sorotan terkait sastra Madura. Sorotan tersebut berbentuk sebuah pertanyaan besar seputar eksistensi sastra Madura yaitu apakah sastra Madura masih tetap hidup ataukah mulai ”mati”. Kalaupun masih hidup, siapakah yang membuatnya hidup dan jika telah mati, apa yang harus orang Madura lakukan untuk menghidupkannya kembali.

Pertanyaan seputar eksistensi sastra Madura yang tampaknya provokatif tersebut sebenarnya adalah pertanyaan wajar dan instingtif yang muncul dari masyarakat Madura yang merasa cemas akan keberlangsungan sastra dan budaya Madura di masa yang akan datang. Pertanyaan provokatif ini muncul karena dalam kenyataannya, saat ini sastra Madura tidak hanya seperti kehilangan ruh, tapi juga badannya. Ruh sastra Madura terletak pada daya imajinasi dalam menghasilkan karya sastra dan perhatian serta semangat masyarakat Madura untuk melestarikan dan mengembangkan sastra mereka, sedangkan badan atau bentuk konkretnya adalah keberadaan sastra Madura dalam masyarakat. Keduanya, meskipun tidak resmi, telah dinyatakan hilang. Andaikata ada beberapa tokoh Madura yang masih menganggap sastra Madura masih tetap eksis, kokoh dan kuat mengakar, setidaknya mereka harus dapat mengkaji dan memberikan bukti pada masyarakat tentang kondisi sastra Madura berdasarkan kriteria empat daya hidup yang menjadi penanda bertahannya sebuah sastra atau budaya yaitu: (1) kemampuan beradaptasi terhadap modernisasi dan perubahan jaman, (2) kemampuan mobilitas dan promosi ke daerah yang bukan domainnya, (3) kemampuan tumbuh dan berkembang, (4) serta kemampuan regenerasi.

Kriteria empat daya di atas apabila kita kajikan pada keberadaan sastra Madura, menghasilkan sebuah simpulan bahwa sastra Madura mulai terabaikan dan ditinggalkan. Kemampuan beradaptasi sastra Madura dalam menyongsong modernisasi terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, sastra Madura, sebagai bagian dari pembentuk budaya madura, sepertinya tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.

Tulisan berkelanjutan

  1. Sastra Madura: Potensi, Realita, dan Harapan
  2. Potensi dan Apresiasi Masyarakat Madura Terhadap Sastra Madura
  3. Hambatan dan Memajukan Sastra Madura

Ancaman paling dini yang dapat dideteksi terhadap eksistensi sastra Madura dapat dilihat dalam fenomena alih bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia dalam komunikasi tulis. Padahal, bahasa dan komunikasi tulis dengan menggunakan bahasa Madura adalah ruh dari sastra Madura. Dalam artikel Azhar (2008), nampak jelas bahwa bahasa beserta sastra Madura telah mulai hilang dalam tulisan. Hal ini didukung oleh fakta-fakta menarik yang Azhar temukan di lapangan.

Dari hasil pengamatannya terhadap tulisan pada 65 spanduk yang bertebaran di Kabupaten Bangkalan, bisa dihitung dengan jari jumlah spanduk yang menggunakan bahasa Madura. Hanya 2 spanduk yang menggunakan bahasa tersebut. Sisanya, yaitu 63 buah, menggunakan bahasa Indonesia. Dari dua spanduk tersebut, tidak satupun yang memuat sastra Madura baik itu populis maupun partikularis. Di antara 50 siswa di sebuah sekolah di Kabupaten Bangkalan yang penulis wawancarai untuk mengetahui apakah mereka menulis SMS dengan menggunakan bahasa Madura ataukah tidak, ternyata dijumpai tidak satupun diantara mereka yang memiliki komitmen untuk selalu menulis SMS dengan menggunakan bahasa Madura. Lebih dari separuh atau sekitar 43 orang menyatakan belum pernah SMS dengan menggunakan bahasa Madura. Sisanya mereka menyatakan pernah SMS dengan menggunakan bahasa Madura dan itupun hanya satu atau dua kali saja. Diantara media cetak lokal yang ada di Madura, hanya satu yang menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa utama untuk menyampaikan informasi (media cetak tersebut bernama Jokotole, dengan pengelola Balai Bahasa Surabaya), dan itupun dengan oplah kecil dengan tingkat sosialisasi yang rendah pula. Radar Madura, koran dengan oplah terbesar dan merupakan bagian dari koran lokalpun hanya mencantumkan peribahasa Madura saja untuk dikaji.

Prof. Dr. Suripan Sadi Hotomo (dalam Zuhdi, 2009) mendukung temuan Azhar dan menyatakan bahwa: “Sastra Madura telah mati, sebab sastra ini tak lagi mempunyai majalah BM (Berbahasa Madura). Buku-buku BM pun tak laku jua, dan sastra Madura tak lagi mempunyai kader-kader penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian dewasa ini sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada, yang berminat menulis sastra dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-tokoh sastrawan Madura, seperti Abdul Hadi WM, Moh. Fudoli, dan lain-lain lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia. Sedangkan nama-nama penerjemah sastra Madura yang terkenal seperti SP. Sastramihardja,   R. Sosrodanoekoesoemo, R. Wongsosewojo kini telah tiada dan belum ada penggantinya. Mungkin hal ini merupakan sebuah proses sastra Madura sedang mengindonesiakan diri. Namun, dengan demikian sastra Madura tidaklah lenyap dari peredaran tanpa menyisakan bekas sedikitpun”

Tulisan berkelanjutan

  1. Sastra Madura: Potensi, Realita, dan Harapan
  2. Potensi dan Apresiasi Masyarakat Madura Terhadap Sastra Madura
  3. Hambatan dan Memajukan Sastra Madura

 

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.