Pesantren Modal Pengembangan Bahasa Madura
Perpaduan antara mesin cetak dan kapital(isme) —yang memproduksi dan memasarkan bahasa dalam suatu cetakan— memungkinkan suatu bahasa terakselerasi sedemikian rupa dan menjangkau masyarakat dengan relatif luas, dengan pembayangan tentang suatu komunitas pengguna bahasa itu sendiri.
Cetakan membangkitkan imajinasi tentang sejumlah pembaca di tempat-tempat lain yang relatif jauh, yang secara bersama-sama disatukan dan dipertemukan oleh bahasa dalam cetakan itu sendiri. Ketika para santri belajar kitab cetakan berbahasa (terjemahan) Madura, diam-diam mereka membayangkan santri-santri lain belajar kitab yang sama di tempat-tempat yang tak mereka kenal, dengan bahasa yang sama yakni bahasa Madura. Dengan cara itu, bahasa Madura terakselerasi, tersosialisasi, dan terinstitusionalisasi dalam jangkauan sosial yang tak terbayangkan sebelumnya.
Sayangnya, berbeda dengan kasus Eropa dan Indonesia, sebagai kekuatan budaya kapitalisme-cetak ini tidak bisa bekerja efektif dalam memodernisasi bahasa Madura. Sebab, ia segera menghadapi kenyataan lain fenomena bahasa Madura, baik di dalam maupun di luar lingkungan pesantren. Dalam kasus bahasa Madura di pesantren, kapitalisme-cetak akhirnya harus berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Pertama, di lingkungan pesantren, bahasa Madura (sebagai produk kapitalisme-cetak) lebih merupakan bahasa skunder dengan bahasa Arab sebagai bahasa primer. Bahasa Madura bukan bahasa utama, melainkan sekadar bahasa kedua yang hanya berfungsi sebagai alat bantu sementara para santri belum mampu mengakses sendiri kitab-kitab kuning yang berbahasa Arab. Dengan demikian, maka yang penting di sini bukan bahasa Madura sebagai alat artikulasi ilmu, melainkan bahasa Arab.
Dibawah layak dibaca