Korelasi kesenian Pangkak dengan prosesi pertunangan terdapat benang merah cukup kuat. Hal ini berlaku di sejumlah desa di wilayah Kangean bahwa pelaksanaan adat menjadi pilihan bagi masyarakat setempat dalam memenuhi hajat kehidupannya.
Adat yang menjadi tolok ukur kehidupan masyarakat, misal persoalan meminang seorang gadis sampai pada acara pernikahannya tentu ada etika dan tatakrama sesuai kesepakatan adat masyarakat. Di Kangean pun, dalam memenuhi hajat tersebut, ada proses yang harus dipenuhi, yakni dimulai orang tua para dua calon mempelai membuat satu kesepakatan tanpa sepengetahuan kedua anak laki-laki dan perempuannya, untuk disepakati agar ditunangkan dan dilanjutkan perkawinan kelak. Konon, cara ini dilakukan sebagai bentuk sepekakatan yang jauh sebelumnya telah dilakukan oleh para pendahulunya.
Dan umumnya, perjodohan ini dilakukan lantaran kedua belah pihak mempunyai kedekatan keluarga, atau mempunyai hubungan famili dekat, dengan alasan bila sampai berlangsung pada jenjang perkawinan akan menjadi kekuatan besar dalam lingkungan kekeluargaan, selain tentu harta warisan yang diturunkan dari pendahulunya tidak hilang atau berpindah dari luar lingkungan sanak familinya.
Seiring perkembangan waktu, dan jaman telah berubah, tentu model perjodohan semacam ini tidak semuanya dianut oleh masyarakat Kangean, khususnya bagi anak muda yang merantau ke luar wilayah pulaunya. Namun tidak menutup kemungkinan, mengingat ini telah menjadi tradisi masyarakat, perjodohan dari orang tetap berlanjut, khususnya bagi masyarakat tradisional.
Menjadi kelaziman untuk mendapat calon menantu perempuan, pihak keluarga laki-laki harus “cerdas” mengamati fenomena yang ada di lingkaran keluarga atau kerabat dekatnya. Dari situlah proses berlanjutnya, mulai dari pendekatan, musyawarah dan seterusnya pada keluarga perempuan dilakukan. Dan bila direspon, maka disepakati dan dilanjutkan peminangan. Meminang anak perempuan cukuplah sederhana, dengan sekedar membawa oleh-oleh berupa kue, dan disepakati oleh pihak keluarga perempuan, proses lamaran sudah dinyatakan selesai.
Dan pada waktu selanjutnya, yakni kunjungan kedua, peminangan dipertegas, yakni keluarga pihak laki-laki kali ini membawa bawaan berupa pisang dan nangga sari. Menurut sesepuh Kangean, pisang tersebut terdapat dua jenis pihan, yakni apabila pisang yang dibawa masih muda, ini pertanda bahwa keberlangsungan ke tingkat perkawinan masih lama, dan apabila pisang tersebut telah tua, ini menandakan bahwa pelaksanaan perkawinan tidak lama lagi (dipercepat). Sedang nangga sari punya arti asarè (mencari) waktu yang tepat untuk dinikahkan.
Lantaran peminangan telah disepakati dan disetujui, maka keesokan harinya pihan tunangan laki-laki mandatangi ke tempat si perempuan dengan membawa sepikul kayu bakar sebagai persembahan, sekaligus sebagai tanda bahwa si tunangan laki-laki sudah bertandang, atau berkunjung bertemu si perempuan (asanjhe).
Setelah waktu berganti musim, saatnya tiba musim tanam pagi. Saat ini masyarakat mulai bersuka cita dan beramai-ramai turun sawah, termasuk antar besan, termasuk anak dan calon menantunya. Pada saat itu biasanya para petani mengadakan selamatan, termasuk dari pihak keluarga perempuan. Keluarga besan laki-laki berkunjung atas undangan pihak perempuan dan membawa beras serta lauk dan rempah secukupnya. Barulah kesesokan hanya, antara besan tersebut sama-sama turun ke sawah menebarkan bibit padi. Dan itu dilakukan pada hari-hari selanjutnya.
Proses komunikasi bersama itu terus berlanjut, bahwa hampir setiap hari mereka bertemu dan berkumpul. Bahkan mereka membangun gubuk bersama di tengah sawah seraya menunggu panen tiba (arangge’). Setelah padi mualai menguning maka para petani berbondong-bondong menempati gubuk tersebut di sawahnya masing-masing (apondung) menyiapkan segala sesuatunya untuk saat panen padi nanti, mereka berbulan-bulan di sawahnya manjaga padinya yang sudah siap di panen.
Baca juga: Kesenian Pangkak: Upacara Pemotongan Padi