Membangun Kekuatan Sastra (Wan) Madura

Bagaimana Sastra (wan) Madura.

Sastra semestinya menjadi bagian hidup, begitu harapan HB. Jassin (1979). Harapan dan pendapat itu tampaknya masih relevan  untuk sekarang diangkat kembali, setidaknya untuk membaliknya menjadi pertanyaan. Benarkah sastra sudah menjadi bagian hidup?. Atau lebih spesifik lagi, masihkah sastra (di Madura) masih diminati oleh masyarakatnya?. Idealnya, sastra seharusnya menjadi rohani, dan menerimanya tidak hanya dengan kesadaran otak saja, tetapi dengan seluruh kesadaran perasaan. Sastra mencari obyek pada seluruh pengalaman manusia. Seluruh pengalaman itu masuk dalam kegiatan sastra.

Pada kenyataannya – barangkali – sastra belum menjadi bagian hidup. Siapa peduli. Dan pada akhirnya makin menjadi pembenaran pernyataan klasik, bahwa sastra masih tetap terpencil pada posisinya. Sastra masih menjadi gumam. Sastra masih diawang-awang. Lalu dimana posisi sastra Madura?. Apabila kenyataan itu benar; cukup memprihatinkan. Sebab apabila yang dilukiskan HB Jassin, sungguh suatu perenungan yang luar biasa. Sastra menjadi bagian hidup, artinya sastra menjadi rohani manusia. Sastra menjadi tarikan nafas dan tak lepas dari proses kehidupan manusia

Lepas dari  persoalan diatas, dalam satu sisi harus diakui bahwa dalam satu dua dekade terakhir ini, sejumlah pengarang (sastrawan) yang berasal dari sub kultur Madura sangat mencolok. Tak mengherankan apabila karya-karya sastra Indonesia mutakhir pun banyak diwarnai nama-nama sastrawan dari Madura. Paling tidak, sastrawan yang lahir dari bumi Madura telah memberi kontribusi terhadap perkembangan sastra Indonesia. Mungkin saja, makin menaiknya volume jumlah sastrawan dari Madura itu antara lain disebabkan faktor demografis dan kultural; etnik Madura mempunyai kekuatan besar dalam menterjemahkan kebudayaan sendiri.

Langsung atau tidak langsung, “larinya” sastrawan Madura ke percaturan sastra Indonesia disebabkan alasan-alasan kultural, – mungkin saja – mereka  terlalu berat menanggung beban perkembangan Madura yang lamban dan tua, statis, rumit, dan kompleks. Ekspansi merupakan bagian yang tak terelakkan dari “kungkungan sosial” yang kurang menunjukkan fenomena perkembangan.

Demikian dengan sastra yang berbahasa Madura. Sastra lokal ini justru terganjal oleh persoalan-persoalan yang lebih rumit. Alasan lingual, salah satu penyebab mereka untuk menolak terjun secara mendalam dalam percaturan sastra daerah. Bahasa Madura yang bertangga (ondhag basa) dan hierarkis menjadi alasan paling kuat, dan cukup menjadi rintangan untuk melahirkan ekspresi, yang sungguh jauh berbeda dengan bahasa Indonesia yang demokratis. Bahasa Madura, sebagai bahasa kedua pun akhirnya menjadi hambatan, terutama dalam pelahiran citra-citra imajener. Tapi rintangan itu sebenarnya tak seberapa dibanding dengan beban budaya Madura yang kompleks. Hal ini bukan tak membawa akibat bagi kehidupan sastra daerah Madura. Sastra Madura kini, hanya ditulis oleh pengarang-pengarang kelas tiga, empat dan lima, sedang pengarang-pengarang kelas dua dan kelas wahid ramai-ramai menyerbu sastra Indonesia. Akhirnya sastra Madura jadi kerdil. Lantas apakah kehidupan sastra di Madura pun akan mengalami hal yang sama sebagaimana terjadi pada sastra daerah.

Apabila benar kerdilnya sastra daerah (Madura) disebabkan pendukungnya, yaitu para penulis/pengarang/sastrawan-nya berbondong-bondong hijrah ke sastra Indonesia, maka tak terkira menyedihkan, karena bagaimanapun bobot penulis menentukan bobot sastra. Dalam  keadaan demikian mungkin sastra Madura akan menjadi serpih-serpih dan rintih di tengah muzaik budaya nasional.

Response (1)

  1. Dekade terakhir ini kekuatan sastra di Madura memang mengalami menurunan drastis, saya kira perlu digalakkan kembali, karena sastra banyak mengajarkan kebaikan dan kejujuran. Selamat Bung Anton

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.