Lur Gulur E Tana Kapor: Warisan Budaya Madura yang Sirna

Simbol Doa

Memburuknya kondisi lingkungan  menimbulkan bencana di mana-mana. Banjir bandang, tanah longsor dan siklus musim yang tak menentu  ternyata belum menyadarkan masyarakat untuk berbenah diri.  Hutan sebagai paru-paru bumi terus dibabat, asap pabrik dan kendaraan  juga penggunaan aircondition kian memperburuk cuaca.  Kondisi miris ini dirasa merisaukan dan  mengilhami seniman berpartisipasi dalam membangun gerakan penyadaran.

Ki Toro tergugah untuk  terlibat dalam arus gerakan seperti itu. Diilhami upacara ruwatan kemudian dia menjajaki untuk merevitalisasi tradisi yang sudah punah. Dalam era budaya yang memungsikan  benda-benda  sebagai simbol doa, masyarakat Sumenep Madura pernah memiliki ritual  Topeng Gulur yang dijadikan  media untuk menyampaian kehendak  pada Penguasa Alam Semesta agar kandungan sawah yang akan diolah menghasilkan rezeki  melimpah.

Ide dasar tersebut kemudian direntang menjadi sebuah repertoar  “Lur Gulur E Tanah Kapur”, secara harfiah diartikan bergulung-gulung di tanah kapur. Salah satu masalah yang harus dikreasi  adalah mentransfer medium dari  lumpur ke kapur. “Jika ritual awalnya  berlangsung di sawah berlumpur sebagai seni pertunjukan kemudian diubah ke kapur. Tentu saja menggunakan ‘kapur’ dengan teknik lain, bukan kapur beneran,” tutur suami dari Sri Mulyani yang menangani koreografi.

Namun apapun yang hendak dibangun selalu membutuhkan landasan filosofi agar bisa  menyusun konsep  kekaryaan yang bagus sehingga menghasilkan pertunjukan menawan. Untuk itu Ki Toro – seniman pendalungan ini  –  menyimak filosofi  masyarakat Madura yang menyatakan, mon tero odi’ kodu apolong ben bareng se odi’. Artinya, jika ingin hidup harus menyatu dengan kehidupan atau sesuatu yang hidup.

Toro menafsirkan, terbentuknya sikap agraris pada masyarakat Jawa diakibatkan oleh  campur tangan kolonial Belanda sehingga termanjakan oleh kesuburan tanah. Sementara  pada masyarakat Madura tampaknya lebih mengkaji apa yang terdapat di dalam tanah seraya  meyakini bahwa di dalam tanah mereka banyak kekayaan terpendam yang belum banyak diketahui. Itu sebabnya mereka terus menguliti bumi, mendulang apa yang bisa didulang lalu menanam apa yang bisa menghasilkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.