Lok-alok Sebagai Repertoar Lisan Madura
Hélène Bouvier

Tokang Lok-alok dihadapan sejumlah pasang sapi kerapan
Lok-alok jaman dulu berupa larik bebas meski tetap mematuhi aturan rima. Gaya puitis lok-alok, menurutnya, sangat berbeda dan gaya puisi yang dinyanyikan (kèjhung), yang ditampilkan pada acara tanda’ atau di dalam pertunjukan teater. Konon, keadaan sekarang deklamasi yang terimprovisasi ini, yang dilestarikan di dalam tradisi lisan, merupakan turunan dan gaya asli yang Iebih canggih, yaltu kèjhung. Pidato lok-alok yang paling lengkap berstruktur seperti berikut: perkataan ramah-tamah untuk hadirin, pemilik sapi, pemilik tanah lapangan, dan pemrakarsa lomba; kutipan nama tempat dan tanggalnya; pengenalan kilat (desa asal, nama pemilik); pengumuman nama baru binatang, kadangkala dengan penjelasan tentang pilihannya, dilanjutkan dengan ungkapan tata krama penutup.
Hal semacam itu merupakan perkecualian untuk sebuah masyarakat yang bahasa publiknya dikuasai oleh kaum laki-laki. Pidato itu berlangsung dan beberapa detik sampai sepuluh menit, dan yang paling pendek tidak dapat mengikuti urutan lengkap di atas. Lok-alok untuk sapi betina dan jantan tidak berbeda, baik dari segi gaya maupun struktur. Beberapa juru pidato melantunkan suara dengan nada liris atau humoris, atau bahkan menyusupkan pantun di dalam pidatonya untuk membenarkan atau mengilustrasikan pihihan nama, tetapi sebagian besar pembicara mengikuti syarat minimal dan hanya memberikan nama peserta secara tergesa-gesa.
Mungkin saja para juru bicara tidak sempat mengimprovisasi pidato yang rumit, melihat benlimpahnya pasangan sapi yang mengikuti acara, serta waktu pelaksanaan yang harus selesai sebelum malam tiba. Apakah pada masa lalu acara serupa terlaksana dengan pasangan sapi yang lebih sedikit, dan apakah para peserta mempunyai lebih banyak waktu untuk menyiapkan deklamasi panjang dan untuk menikmati segi puitis pidatonya? Kini, pidato pujian bersusulan dengan cepat. tetapi dinanti-nantikan oleh publik yang penuh gairah. Bila terlihat kemungkinan, karena besarnya jumlah sapi, bahwa acara dapat berlangsung sampai malam, bagian tarilah yang dipotong. Dapat saja para penari diminta memperpendek pertunjukannya, atau bahkan dilarang tampil setelah pidato. Juru pidato juga diminta berbicara singkat, tetapi pidato mereka tidak dapat dihilangkan. Jadi, segi lisan lebih diutamakan daripada segi tan.
Baca Juga :Judul dibawah, juga berhubungan
- Dari Seminar Bahasa dan Sastra Madura; Bahasa dan Sastra Madura Mulai Diminati
- Tradisi Ritual Tolak Balak Warga Arosbaya Bangkalan
- Masyarakat Madura Harus Merekonstruksi Budaya Lokal
- Malu Berbahasa Madura
- Kuburan Arya Wiraraja Jarang Diziarahi
- Komplek Kuburan Kherkoof Kertasada
- Tradisi Ghatean, Tradisi Peduli Antar Sesama
- Sumenep Kota Keris Dicanangkan
- Bedah Buku Mencari Madura
- Tradisi Okol Digelar Warga Pamekasan Madura