Sastra Madura Partikularis yang sebenarnya merupakan aset budaya Madura untuk dikembangkan tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan dan menunjukkan sastra Madura, seperti paparegan dan bangsalan dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan “keterbelakangan”. Akibatnya, timbul rasa gengsi untuk menggunakan sastra Madura dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa “gengsi” ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang sastra dan budaya Madura.
Mulai menghilangnya sastra Madura sebenarnya dapat menjadi ceminan betapa kurang baiknya watak orang Madura dalam menghargai dan mempertahankan apa-apa yang dimiliki mereka. Jika mental seperti ini terus dibiarkan, tidaklah mengherankan bila semakin lama akan semakin banyak unsur kebudayaan Madura yang tergilas oleh modernisasi dan kebudayaan asing. Suatu ketika, bahasa, sastra dan budaya Madura hanyalah tinggal nama.
Dilihat dari kaca mata keempat daya hidup yang dimiliki sastra Madura, nampak jelas sastra Madura kurang berdaya. Kemampuan yang pertama yaitu kemampuan beradaptasi sastra Madura memperlihatkan tingkat yang kurang begitu menggembirakan. Ini terlihat dari bentuk sastra Madura yang masih standar, belum mampu beradaptasi dengan kemajuan jaman dan teknologi.
Demikian pula dengan kemampuan yang kedua yaitu mobilitasnya. Promosi sastra dan budaya Madura baik vertikal yaitu menjadi terkenal di Nusantara maupun horizontal yaitu menyebar ke segenap lapisan masyarakat, dapat dikatakan sangat lemah. Hal negatif ini juga terjadi pada pada tataran kemampuan ketiga yaitu kemampuan untuk tumbuh dan berkembang. Saat ini, diskusi tentang paradigma-paradigma dan karya-karya baru dalam sastra Madura, masihlah menjadi sesuatu yang besar dan langka karena fokus pembicaraan masyarakat masih tetap berada pada seputar argumentasi apakah sastra Madura telah mati ataukah tidak, serta pada seputar usaha untuk memunculkan iktikad melestarikan sastra Madura.
Pada tataran kemampuan keempat yaitu regenerasi, sastra Madurapun juga nampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut. Budaya buppa’ bubbu’ guru ratoh (hormat pada bapak ibu guru dan pemerintah) yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari orang Madura dianggap menjadi salah satu penyebab lemahnya proses regenerasi sastra Madura. Selain itu, komunikasi yang tidak sinkron antargenerasi tua dan generasi muda juga memperlama proses regenerasi.
Dalam perspektif tokoh-tokoh tua, generasi Madura dianggap memiliki kebiasaan jelek yaitu selalu menyerahkan segala sesuatunya pada yang tua serta menunggu senior-senior mereka dalam menghasilkan karya sastra, padahal belum tentu yang tua mampu melakukannya.Sedangkan dalam perspektif generasi muda, generasi baru sastra Madura seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, karena kentalnya senioritas serta “terlalu majunya” pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya.
Tulisan berkelanjutan
- Sastra Madura: Potensi, Realita, dan Harapan
- Potensi dan Apresiasi Masyarakat Madura Terhadap Sastra Madura
- Hambatan dan Memajukan Sastra Madura
Materialisme yang kini melanda kebudayaan Madura telah menggeser parameter kebaikan. Parameter yang berlaku kini bergeser dari terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab yang dimilikinya secara optimal, menjadi seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan.
Bila ukuran kebaikan sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, maka idealisme akan semakin sulit dipegang. Para materialis dengan kampanye hedonisnya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupus idealisme sastra Madura. Akibatnya, kini sulit dijumpai komunitas penggemar sastra Madura yang bekerja secara idealis untuk memajukan sastra Madura.