Festival Cak Durasim III: Diskusi Sastra Etnik di Jawa Pos,

Hasnan Singodimayan
Bahkan, jika dibanding dengan sastra Using, semestinya sastra Surabaya kondisinya lebih baik lagi. Ingat, iklim sastra Using pernah mempunyai sejarah yang kelam, yaitu berkenaan dengan pemerkosaan puisi Genjer-Genjer (ditulis Mohammad Arif pada awal tahun 1940-an) oleh PKI.
Seperti dikatakan Hasnan, sejak Genjer-Genjer diplesetkan menjadi Jendral-Jendral , hampir semua kesenian Banyuwangi dicap berhaluan kiri. Lucunya, bukan hanya sastrawannya yang dicap, tapi juga penari gandrung. “Sampai-sampai tari gandrung dicap PKI karena sarungnya berwarna merah,” kata Hasnan.
Sejak itu seniman Banyuwangi, termasuk sastrawannya, dikontrol secara ketat oleh pemerintah. “Saya ini sampai bosan, setiap ada puisi baru selalu ditanyai oleh Sospol, untuk menjelaskan isinya,” tambahnya. Sudah begitu, bahasa Using digolongkan sebagai bahasa jalanan dan tidak diajarkan di sekolah. “Baru tahun ini dimasukkan dalam muatan lokal di sekolah,” ujarnya.
Tetapi untungnya, di tengah kondisi yang menyesakan itu, Banyuwangi terus melahirkan penyair-penyair berbahasa Using, generasi jauh di bawah Andang CY. Sebut saja mereka Abdullah Fauzi, Mahawan, Un Hariyati, Soeroso MK dan almarhum Slamet Utomo. “Mereka telah memperpadukan warna Using secara modern dengan tema yang lebih bersifat nasional,” katanya.
Ternyata Madura, pulau kelahiran Abdul Hadi WM dan Zawawi Imron, itu mempunyai sederet penyair yang masih konsisten menulis dalam bahasa ibunya. Mereka di antaranya Arach Jamali dan Abdul Gani. Bahkan Arach Jamali, sastrawan yang cukup produktif itu, selain menulis puisi, juga cerita dan roman dalam bahasa Madura.
Dibawah layak dibaca