Bahasa Madura Sebagai Ilmu

Di samping itu, di pesantren bahasa Madura juga digunakan sebagai bahasa sastra. Kalau bahasa ilmu menggunakan banyak abstraksi, konsep, dan teori, bahasa sastra menggunakan banyak metafor, alusi, imajinasi, asosiasi, dan sejenisnya. Hanya saja, karena tujuan pesantren dengan semua aktivitasnya adalah pendidikan dan agama, maka metafor dan sejenisnya cenderung dieksploitasi untuk kepentingan didaktis dan moral agama. KH Musyfiq dari Karai, Sumenep, misalnya yang secara rutin mengisi pengajian melalui radio pemancar terbatasnya, kerap memulai pengajiannya dengan membacakan syair-syair keagamaan karangannya sendiri. Di pesantren, pelajaran akidah, fiqih, dan akhlak seringkali diajarkan lewat syiir yang dinyanyikan bersama. Salah satu syiir nasihat untuk kaum perempuan yang lamat-lamat masih saya ingat —dan ini satu-satunya bait yang saya hafal— (sayang lupa pengarangnya) berbunyi:

Orèng bebinik kodu tèngatè

Sopaja ngaollè soccèna atè

Bannyak rèng binik duk-nunduk kocèng

Tapè tor kadang alèrèk lancèng


(Perempuan mesti berhati-hati

Agar meraih suci hati

Banyak perempuan menunduk pura-pura

Tapi kadangkala juga melirik perjaka).

Dengan menjadikan bahasa Madura sebagai alat komunikasi sehari-hari, bahasa ilmu, dan bahasa sastra, maka pesantren telah memanfaatkan bahasa Madura dalam batas maksimal yang mungkin dilakukannya.

Lebih dari itu, sejumlah kitab yang diajarkan di pesantren —seperti Safinatun Najâ, Sullamuttawfîq, dan Bidâyatul Hidâyah, untuk menyebut sebagian— diterjemahkan ke bahasa Madura, dicetak dan diedarkan secara relatif luas. Apa artinya ini? Ini berarti bahasa Madura yang berkembang di pesantren didukung oleh kapitalisme-cetak (print-capitalism), satu kekuatan budaya modern yang dalam pengalaman kebudayaan di banyak tempat —di Eropa sejak abad ke-16 dan di Indonesia sejak awal abad ke-20— mempercepat proses modernisasi bahasa dan akhirnya masyarakat pemakai bahasa itu sendiri. Bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa modern jelas didukung oleh kapitalisme-cetak ini, terutama sejumlah penerbit swasta bacaan berbahasa Melayu dan kemudian penerbit Balai Pustaka. Jadi, pesantren sesungguhnya memiliki kekuatan atau prasyarat budaya untuk memodernisasi bahasa Madura untuk berkembang menjadi alat artikulasi modern.

Tulisan bersambung:

  1. Bahasa Madura dan Dunia Santri: Negosiasi yang Belum Selesai,
  2. Bahasa Madura Sebagai Ilmu, 
  3. Pesantren Modal Pengembangan Bahasa Madura,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.